Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Prioritas Si Awam Pada Ramadan Ini

16 Mei 2018   22:59 Diperbarui: 16 Mei 2018   23:13 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunaikan shalat tarawih di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (6/6/2016).(Rusman - Biro Pers Setpres) Samberthr thrkompasiana2 kompasiana

Tiap menit hidup kita sebenarnya penuh kesempatan untuk berbuat baik, untuk melakukan sesuatu yang bernilai ibadah atau amaliah. Ibadah yang bersifat wajib atau tidak wajib, dan amaliah yang kecil maupun besar, yang m wajib maupun sunah.

Berbagai amal-ibadah itu baru teringat bila Ramadan tiba. Selama bulan Ramadan pada hampir semua masjid dilakukan pengajian pada sebelum shalat tarawih dan sesudah salat Subuh. Pengajian dengan penceramah yang berbeda-beda dan dengan tema yang berlainan pula memberi daya tarik bagi jamaah. Dan lebih dari itu jamaah mengingat banyak hal terkait dengan aneka ibadah serta amaliah.

Karena begitu banyaknya ibadah dan amalan lain yang bernilai pahala, maka ibadah wajib (shalat lima waktu dengan tata cara dan berbagai persyaratannya) tiap orang punya prioritas yang berbeda-beda untuk melaksanakannya.

Bagi saya yang awam ini target selama Ramadan ini masih tetap pada upaya memperbanyak ibadah sunah sebelum dan setelah shalat wajib berjamaah di masjid. Itu berarti datang lebih cepat (sebelum adzan) dan pulang belakangan. Namun untuk shalat Maghrib memang kekecualian, biasanya shalat berjamaah ditunda beberapa saat memberi kesempatan jamaah yang masih berbuka di rumah.

Bersamaan dengan prioritas shalat sunah (salah satu yang tidak boleh ditinggalkan yaitu shalat sunah fajar sebelum shalat Subuh), membiasakan diri untuk terus dalam keadaan berwudhu memang perlu konsentrasi tersendiri. Artinya ketika batal harus cepat-cepat berwudhu meski bukan untuk shalat.

Pada hari-hari sebelum Ramadan usaha mewujdukannya bukan tak ada, namun selalu terbentuk pada kesungguhan yang belum optimal. Artinya Maghrib ke Isya' dapat dipertahankan, tetapi dari Dhuhur ke Ashar, dan Ashar ke Maghrib belum mampu. 

Berbahagialah rumah yang masih mempertahankan toilet jongkok karena saat kita berhajat bisa tiga pembatal wudhu sekaligus dituntutakan: kotoran, kencing, dan kentut. Lepaskan semuanya dengan sebebas-bebasnya, dan sesudah itu kondisi perut relatif aman-terkendali (terkecuali yang suka makan sangat pedas, hobi minum kopi, dan makan-makanan penyebab munculnya gas di dalam perut).

Hal yang selalu teringat pada saat Ramadan yaitu membiasakan diri untuk terus mengucapkan istigfar, tasbih, dan dzikir. Sebetulnya pada bulan-bulan lain pun saya sudah melakukannya, tetapi pada Ramadan memunculkan semangat lebih besar. Bila kita berkendaraan, agar pikiran tidak kemana-mana dan lebih berkonsentrasi pada kondisi jalan dan fokus mengemudi maka terus mengucap istigfar, tasbih dan dzikir harus terus dilakukan. Perasaan marah dan jengkel lantaran jalan macet, panas terik, terburu-buru takut terlambat, dan berbagai perasaan lain dapat diredam dengan itu.

Satu lagi target saya pada Ramadan 1439 Hijriah yaitu terus memperbaiki, memperlancar dan mempercepat bacaan Al Qur'an sehingga katam lebih cepat. Pada hari-hari sebelumnya saya membaca kitab suci hanya satu halamman setelah Subuh, sesekali saja dua halaman. Saya masih bepegang pada pedoman para Ustadz bahwa kontinyuitas itu lebih baik daripada sistem borongan. Artinya sedikit demi sedikit tapi rutin. Ungkapan itu ke depan harus diubah menjadi banyak baca dan rutin itu jauh lebih baik.

Kebiasaan berpindah-pindah masjid dalam mengikuti tarawih tetap akan saya lakukan, minal seminggu satu kali. Ini menyenangkan karena dapat merasakan perbedaan suasana masjid (besar-kecil, interior dan penataannya, jamaahnya, dan terlebih juga untuk mengetahui da membandingkan kebiasaan masjid yang bersangkutan maupun kualitas penceramah yang berbeda pula).

Target sampingan yang tak kalah penting yaitu sesedikit mungkin meninggalkan sholat berjamaah di masjid karena kepentingan diluar ibadah (berbelanja, beranjangsana, perjalanan mudik, dan sebagainya). Dari dulu saya berpikir bahwa tradisi mudik itu mestinya pada lebaran ketupat, yaitu enam hari setelah dua hari Idul Fitri (setelah puasa sunah Syawal). Bagi yang bepergian dapat menundanya dulu (waktunya satu bulan), sehingga tidak mengganggu keutuhan ibaah bulan Ramadan. Hanya beberapa daerah saja yang membiasakan warganya mudik pada Lebaran Ketupat itu (pada dua hari Idul Fitri belum ada ketupat dengan aneka sayur dan hidangan lain).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun