Sekali waktu kuingin hidup layaknya kucing saja. Liar, rakus, dan suka mencuri kapan mau, bila kesempatan datang tanpa bisa dilarang. Jika aku si jantan maka akan terus kucari betina, petang dan malam. Kujantani malam dengan kerakusan si liar yang tak hendak mengendur.
Biar pun gaduh di atas genteng, di para-para, dan di lantai atas rumah berloteng. Kami nekat berkejar-kejaran begitu gila. Sampai mungkin seseorang menyiramkan air ke arah kami agar terlerai. Tentu kami mawas diri dan sedikit malu pada manusia, romantika panas ala kucing terlalu bising bagi mereka.
Aku kucing yang merangkak menyusupi gelap malam. Memanjat dan melompat di atap-atap tinggi. Mengendus ikan asin goreng, mengincar panggang ayam, dan tak lagi berselera pada tikus yang lewat seberapapun gemuk. Dan kamu kira aku kucing berdasi? Aku kucing liar yang sekadar suka mencuri. Tak berbaju, tak berkacamata.
Aku terlahir sebagai kucing si miskin, berbulu kasar warna kelam dan kudisan. Yang menyusuri kekumuhan kampung, seperti perilaku penghuninya yang teramat kumuh. Â Tapi aku senang, hidup kemanusiaanku terwakili sebagai kucing.
Jauh waktu kemudian, seekor kucing gepeng di tengah jalan, terlindas truk yang melaju kencang. Darah mengering, serpih daging berloncatan, dan mata melotot nanar. Maka serta-merta harus kuralat keinginanku menjadi kucing.
Aku sebaiknya menjadi kupu-kupu saja. Menjadi mahluk bersayap yang anggun melambai bila terbang, dengan siluet sinar matahari kemarau membiaskan warna-warna menyolok mata. Bagiku kupu-kupu tidak harus dari ulat dan kepompong. Jadilah aku kupu-kupu yang tidak pantas dicemburui para isteri, bila pun para suami suka pulang pagi.
Bandung, 3 Jan -- 17 Maret 2018