Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Gratifikasi untuk Jokowi dan Keteladanan (1)

14 Maret 2018   20:23 Diperbarui: 15 Maret 2018   06:24 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
barang graifikasi yang diserahkan

Pada siang hari Pos Ronda 'klub banting kartu' berganti penguasa. Malam hari boleh saja para lajang, jomblo dan kaum bapak membuka lapak gaple dan catur sampai lewat tengah malam. Tapi siang tidak. Jelas mereka harus bekerja di kantor masing-masing, atau di toko, kios, bengkel atau di manapun sesuai pilihan pekerjaan yang dijadikan sandaran penghidupan mereka.  

Siang hari penguasaan pos ronda giliran jatuh pada para ibu dan pedagang keliling. Mereka singgah untuk sekadar beristirahat, bertransaksi, ngobrol apa saja atau ngerumpi.

Begitulah hari itu Bu Tini Subejo dan Mak Fatmah Edi Mur bertukar kata. Tak jauh dari situ Mbak Jamu Murwokanti menunggu pembeli. Mereka berkumpul di pos ronda secara kebetulan. Bu Tin berpakaian khas, daster panjang dengan beberapa jahitan sekenanya di sana-sini. Tertawanya melengking seperti gadis kesambit panah beracun. Sedangkan Bu Fat yang mengenakan pakaian olahraga merah marun. ia terus  mengangguk dan sesekali menyahut. Sedangkan Mbak Murwo sibuk menata dagangannya sambil nguping.

"Bu Tin kalau tertawa rasanya lega betul ya? Seperti hidup tanpa beban. Bebas, lepas, dan bahagia sekali. Apa sih resepnya, Jeng?" tanya Mak Fatmah setiap kali bertemu, namun setiap kali pula tidak dijawab.

Bu Tin akan bicara soal lain saja. Sampai-sampai Mak Fatmah jengkel. "Ditanya resepnya apa kok jual mahal. Takut ditiru ya?"

Bu Tin melirik, dan wajahnya dibuat kecut. "Bu Fatmah ini yang aneh. Orang tertawa kok ditanya resepnya apa? Tertawaku bukan masakan, bukan pula obat keras yang harus ditebus menggunakan resep dokter. Tertawaku asli dari pesisir Pakidulan. . . .!" jawab Bu Tin sekenanya.

 "Lho, ternyata tanpa resep to?"

"Bukan tanpa resep. Tapi ini bawaan dari sono, dari kampung halaman pinggir laut. Di sana antar rumah terhalang gunung. Jadi harus saling berteriak untuk memanggil. Teriak sekerasnya maka tetangga akan datang tergopoh-gopoh dan panik. . . .!"

"Ooo, pantas. Hahaha. Setelah berteriak rasanya jadi plong ya?"

"Pasti. Plong seperti Pak Jokowi merasa plong setelah melapor ke KPK mengenai gratifikasi yang diterima. Bayangkan nilai barang yang dikategorikan gratifikasi selama tahun 2017 - 2018 mencapai total 58 milyar rupiah. . . .!"

"Tunggu. Jangan diteruskan. Kasih waktu untuk membayangkan dulu. Besar banget  ya, 58 milyar rupiah. . . . . !"

"Sudah?"

"Sudah. Luar biasa sekali orang itu. Setan saja doyan duit, tapi sosok Presiden kita itu betul-betul tak tersentuh. Ya 'kan? Lantas apa kaitannya antara tertawa kenceng dengan gratifikasi Pak Jokowi? Tidak nyambung amat. . . .!" ucap Mak Fatmah seraya beranjak pergi.

Mbak Murwo yang dari tadi mendengarkan permbicaraan dua orang itu tersenyum tak habis-habis. Ia berpikir, kok kayak sandiwara di layar televisi saja ya? Saling mencari kebenaran sendiri. Soal kecil dibesar-besarnya, soal-soal besar dilupakan. Oh, sinetron.

Sesaat kemudian Mbak Murwo terjingkat. Ada yang ia lupa saking asyik menyimak sinetron.

"Lantas siapa yang bayar jamunya? Kok Mak Fatmah melipir begitu saja sih? Tadi bukanya Bu Tin yang menawari Mak Fatmah untuk minum jamu? Siapa yang harus bayar?" tanya Mbak Murwo menuntut..

Bu Tin dengan wajah ditekuk membuka dompetnya. Membayar sepuluh ribu rupiah, dan meninggalkan pos ronda itu sambil  ngedumel. "Mak Fatmah Edi Mur itu pelupa. Begitu minum jamu harusnya langsung ditagih uangnya. Jangan dibiarkan ia ngobrol lama. Pelupa ia. Atau jangan-jangan ia hanya pura-pura lupa?"

Mbak Murwo menahan tawa sendiri. Batinnya yang bicara. Bu Tin pun sering lupa. Kalau soal bayar-membayar anehnya ibu-ibu sering kompak jadi pelupa. . . !

***

Sore hari begitu Pak Edi Mur pulang ke rumah Mak Fatmah langsung bertanya sesuatu yang tidak dipahaminya.

"Gratifikasi itu apa to, Pak? Pagi tadi Bu Tini Subejo kok bilang soal gratifikasi untuk Jokowi. Nilainya mencapai 58 juta. . .  ehh, 58 milyar rupiah. Banyak sekali ya?"

Pak Edi Mur sedang memarkir motornya. Lalu duduk di bangku di teras rumah. tampak capek. "Sediakan dulu kopi panas. Jangan lupa camilan seperti biasa. Suami capek pulang kerja kok langsung ditodong pertanyaan yang aneh-aneh. . .!"

"Di bengkel tadi sudah berapa gelas minum kopi? Pulang ke rumah kok masih mau ngopi? Apa dada tidak sesak? Ganti teh saja ya? Mak bikinkan teh jahe. Pasti rasanya lebih nendang daripada kopi. Cobalah sesekali, Pak. . . .!"

"Okelah, teh jahe panas. Cepat, Mak. . . !" ucap Edi Mur serasa menyulut sebatang rokok kretek. Dari tas kulit kecil ia mengeluarkan koran yang dilipat kecil. Ketika Mak Fatmah selesai menyajikan minuman, Pak Edi Mur segera membuka koran di halaman yang khusus menyajikan laporan tentang barang graifikasi yang diterima Jokowi.

"Jangan dibaca, Pak. Ceritakan saja garis besarnya. . .!"

"Ya, garis besarnya. Emak kayak pejabat saja. Nah, ini dengarkan.  Jokowi menyerahkan ke KPK berbagai hadiah yang diterimanya selama 2017-2018. Hadiah itu sering pula disebut gratifikasi. Nilainya sekita 58 milyar rupiah. Kata petugas KPK yang menerima, pelaporan barang gratifikasi ini merupakan teladan yang baik bagi pejabat negara. . . . . .!  Nah, ini kutipan langsungnya. Baca sendiri. . .!"

Pak Edi Mur menunjuk kalimat yang harus dibaca. Lalu Mak Fatmah mengeja:  "Ini bagian dari pencegahan korupsi. Siapa pun PNS atau penyelenggara negara baik itu terkait atau tidak, diberikan sesuatu, melaporkan sesegera mungkin." **

Teh jahe tersaji. Pak Edi Mur membaui aromanya. Masih panas tapi justru merangsang hidung dan lidah untuk menyeruputnya sedikit demi sedikit. Betul juga saran isterinya, nikmat luar biasa. Ada sensasi yang berbada dibandingkan dengan minum kopi hitam. "Luar biasa nikmatnya. Alhamdulillah. Terima kasih, Mak. Tapi kalau kopi hitam tambah jahe pasti jauh lebih nikmat ya? Hehehe."

"Ingat umur. Sewaktu muda boleh saja minum kopi pagi, siang, malam. Sekarang yang penting jaga kesehatan. Jangan cuma cari nikmat. Lalu tiba-tiba stroke, jantungan, gagal ginjal. . . .!" jawab Mak Fatmah mengingatkan, lalu beranjak dari teras.*** (Bersambung)

Bandung, 14 Maret 2018           --   Gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun