Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Bulan Motivasi RTC) Cerpen - Jerit

24 Mei 2016   16:50 Diperbarui: 24 Mei 2016   19:44 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ekspresi bayi - sumber http://greenorc.com/2016/02/adorable-watercolor-painting-you-must-see/

Tim d’Lapan –

Anggota: Relung Tiada Batas, Hendri Hans Zhang, Sugiyanto Hadi.

#bulanmotivasiRTC

Ibu Salina selalu berusaha tidur lebih awal agar bisa bangun lebih pagi. Namun selalu ada yang mendesak dikerjakan justru ketika malam merambat jelang puncak, jelang tengah malam. Menulis perkembangan tiap bayi, membuat laporan penggunaan dana dan berbagai bentuk bantuan, serta terutama menyiapkan berbagai keperluan esok hari.

Dan malam itu ketika mata mulai diberati kantuk, seluruh urat-syaraf tubuh seperti dicabuti, dan konsentrasi menurun drastis, sebuah teriakan  menyambar daun telinganya. Sebuah pekik, sebuah jerit yang memilukan. Bulu kuduk Ibu Salina sempat meremang. Sebelum kemudian Pak Lukito –suaminya- mengingatkan jangan terlalu malam untuk tidur. “Lusa kita  akan melakukan perjalanan jauh ke desa. Jaga kesehatan supaya perjalanan lancar. . .. .!”

Ingatan untuk kembali ke desa itu kiranya yang tadi didengarnya serupa jerit melengking. Agaknya itu semata teriakan histeris yang bergaung dari nestapa yang terjadi jauh pada masa lalu. . . . . !

***

Kesibukan di panti asuhan Roemah Boenda belum berhenti hingga sore ini. Silih berganti suara tangisan dari tiga belas bayi di situ.

“Baru saja seseorang menelepon ibu. Ia akan datang membawa bayi merah yang ditemukan di depan pintu rumahnya subuh tadi,” ucap Bu Salina pelan. “Beberapa panti asuhan sudah dihubungi, namun tidak ada  yang mau menerima. . . . .!”

Seketika Mbak Ras Ras dan Neng menoleh. Ibu muda yang cantik itu tersenyum. Neng tersipu malu.

***

Di luar jendela kicau burung kenari diantara cabang-cabang pohon kenanga. Sinar matahari sore makin condong ke barat. Seorang ibu berkerudung ungu turun dari ojek, lalu melangkah tergesa memasuki halaman Roemah. Ia menggendong bayi dengan raut sebal. “Tunggu sebentar, Bang!” ujarnya kepada tukang ojek.

Belum sempat mengetuk, pintu berkaca membuka.

“Silahkan masuk, Bu. “Apa ibu yang tadi menelepon?” sambut Bu Salina seraya mempersilahkan tamunya duduk di kursi tamu.

“Iya, Bu! Saya ingin menyerahkan bayi ini. Dari pagi-pagi sekali saya bingung apa yang harus saya lakukan. Saya memastikan betapa kejamnya ibu bayi ini. Saya sangat marah. Bayangkan kalau bayi ini mati di depan pintu rumah saya, apa saya tidak tersangkut urusan polisi?” ujar perempuan gemuk itu sampai lupa memperkenalkan diri, dan langsung curhat.

“Tenang dulu bu, tenang. . . . .! Sekarang biar saya urus dulu bayinya!” ujar Bu Salina ketika menerima bayi, lalu masuk ke ruangan lain.

Beberapa menit kemudian Bu Salina kembali ke ruang tamu. Namun tidak didapatinya lagi si ibu yang membawa bayi. Yang tertinggal hanya selembar kertas bergaris dengan tulisan tangan tak beraturan.

***

Detak jarum jam sudah menunjukkan waktu mendekati tengah malam. Bu Salina masih di meja kerjanya sambil sesekali mengawasi Adimas. Bayi merah yang baru saja tertidur pulas setelah meneguk 100 mililiter susu formula. Di atas meja, Bu Salina membuka sebuah buku harian merah jambu yang telah menemaninya melewati tahun-tahun kehidupan. Setelah membaca curahan hati di beberapa lembar terakhir, Bu Salina kembali menuliskan lanjutannya,

Bu Salina menutup buku hariannya. Lalu ganti dipandanginya kertas kumal itu. Dengan menarik nafas panjang dibukanya kembali surat ibu si bayi. “Anakku, Adimas, siapapun yang menemukanmu semoga ia menyayangimu. Ibumu ini jahat, buruk, dan tidak bertanggungjawab. Namun tentu bapakmu yang lebih buruk. Ibu tidak sanggup untuk membesarkanmu. . . . .!”

Dibacanya berulang-ulang surat itu, juga nama itu. Malam merambat jauh, bu Salina tersedu oleh ingatan akan masa lalu.

***

Pagi itu hangatnya matahari menerobos jendela kaca. Mbak Ras memandikan Adimas, lalu memakaikan popok sambil berdendang. Sebaliknya Neng tampak kesal. Si perawat berkulit hitam manis itu sedang mengisi botol susu formula. Ia memandang sinis ke arah Adimas dan dua orang sukarelawan yang tertawa-tawa meriah.

"Mbak Ras...bayi dari mana lagi tu mbak..?” tanya Neng dengan nada ketus. Mbak Ras hanya menggeleng, tidak menanggapi sikap si gadis kurus yang ceriwis itu. "Bayi itu anak siapa sih....huuuff... seenaknya saja membuangnya kesini..."

Tidak puas dengan sikap Mbak Ras, Neng bangkit dengan menggendong salah satu bayi dan pergi ke ruang kerja Bu Salina.

"Maaf saya pingin tahu, Bu, bayi yang baru itu berasal dari mana? Saya penasaran sekali. Ia anak siapa? ”  Neng bertanya dengan nada sinis .

Bu Salina tersenyum, tidak menanggapi pertanyaan itu.  “Ibu tidak tahu apa masalahmu. Tapi kalau sikapmu tidak berubah, rasanya kamu tidak cocok lagi bekerja di sini. . . . .”

***

Kejadian pagi tadi masih membekas di hati Neng. Dia merasa kesal dengan Bu Salina yang tidak mau menjawab satupun pertanyaan yang diajukannya mengenai asal usul orangtua si bayi merah. Pikiran buntunya sudah memilih jalan untuk minggat dari Roemah, malam ini. Neng tampak sibuk melipat pakaian, menyusunnya ke dalam koper. Bu Salina mendapat laporan dari Ras mengenai niat Neng untuk meninggalkan Roemah Boenda.

***

Ibu Salina tidak menyalahkan pendirian Neng, karena dulu ia juga bersikap seperti itu. Dulu sekali sebelum sesuatu menimpa dirinya.

Ibu Salina menjelaskan:  “Meski tidak lengkap, ibu punya mencatat setiap bayi yang dititipkan di sini. Cerita duka dan aib biarlah tertinggal di masa lalu. Namun si bayi perlu akte kelahiran, riwayat kesehatan,  dan sekelumit cerita mengapa ia terdampar di sini.. . . . .!” ucap Bu Salina sambil memegang sebuah buku tulis besar.

Mbak Ras mengangguk. Neng tertunduk. Entah pikiran apa saja yang berkecamuk di kepalanya.

“Satu hal lagi, setiap orang memiliki aib sendiri-sendiri. Ibu juga. Namun justru dengan masa lalu itu ibu berjuang keras mewujudkan mimpi mendirikan Roemah ini.. . . .!”

“Jadi ibu juga berselingkuh?” tanya Neng spontan dengan rasa penasaran.

Ada rasa kaget, marah, sedih, dan kecewa sekaligus mendapatkan pertanyaan seperti itu. Namun Bu Salina tidak mau berbantahan dengan Neng. Bu Salina berharap pada waktunya nanti Neng toh akan mengerti sendiri.

***

Sebelum sholat subuh Pak  Lukito sudah memanaskan mesin sedan tua keluaran tahun1980-an itu. Ia sengaja mengambil cuti selama lima hari. Hari pertama cuti kemarin pagi digunakannya untuk pergi ke bengkel mobil langganan untuk cek aki, kaki-kaki, ganti oli, dan sekalian membersihkan karburator agar mobil tidak ngadat di jalan.

“Apa kita sudah betul-betul siap untuk berangkat, Pak?” ucap Bu Salina ketika mengangkat beberapa dos berisi oleh-oleh, makanan dan pakaian, untuk ayah-ibunya. Sebulan terakhir niatnya bulat untuk pulang. Diantara gelisah, rasa takut, dan berbagai perasaan lain, terbersit rasa kangen yang tak tertahankan.

“Bapak justru yang harus bertanya kepada ibu. Sekian tahun kita berpacaran lalu menikah belum sekalipun ibu mengajak bapak untuk memperkenalkan keluarga ibu. Bapak tidak curiga apa-apa selain memaklumi  kesibukan sehari-hari ibu. . . . .!” jawab Pak Lukito ketika mengelap kaca depan mobilnya.

“Ibu siap, kok. Nanti Bapak juga akan tahu kenapa ibu bersikap sangat tertutup. Mudah-mudahan sikap bapak tidak berubah. . . . . .!” ucap Bu Salina saat mengenakan sepatu kulit. Lalu melangkah keluar pintu, dan masuk ke dalam mobil.

Pak Lukito menutup pagar besi, dan menguncinya dari luar. Menstater mobil, memastikan arah kaca spion, menutup kaca jendela dan mengunci otomatis semua pintu. “Bismillah.. . . . !” ucapnya mlafalkan doa perjalanan dan diikuti Bu Salina.

***

Di kamar kost sempit itu seorang perempuan muda berjuang entah atas nama apa. Ia bingung harus bagaimana, cemas, mengerang. Seorang diri saja ia. Sementara rasa sakit yang mendera terasa mengelupasi kulit. Antara pingsan dan terjaga ia menunggu. Darah membasah dimana-mana.

Tangis bayi merah terdengar melengking. Perempuan itu gemeteran. Menatap takut pada sosok merah penuh darah di sekujur kulitnya, tergeletak menggeliat di antara kedua kakinya. Debaran jantungnya kencang tak beraturan, dengan jemari bergetar secepat kilat di raihnya bayi itu dengan penuh ketakutan, memandang bingung...tak berkedip...pikiran kalut berkecamuk di otaknya.

Spontan otak iblisnya bangkit, seperti refleks kedua tangannya untuk membekap mulut si bayi. Namun segera otak malaikatnya menyadarkan untuk mengurungkan niat jahatnya tadi. Perempuan itu beringsut hendak bangun dan berdiri....

Bu Salina tergagap oleh lelap sesaat yang membawanya pada perjalanan hidup masa lalunya. Perjalanan ke timur masih jauh, rasa lelah dan kerinduan mendalam pada kedua orangtua melenakannya pada cerita itu.

***

Sampai di desa terpencil itu hari menjelang sore. Ibu dan ayah Bu Salina yang sudah sepuh tentu saja sangat terkejut. “Akhirnya kamu pulang juga, nak. Kukira warga kampung ini telah memaafkanmu. Sudah lama mereka tahu bahwa bukan kamu yang bersalah. . . . .!” ucap ayah dengan air mata bercucuran.

Bu Salina bersimpuh mencium kaki ibu dan ayahnya. Hampir lima belas tahun Salina pergi, dan selama itu pula tidak berkhabar berita dan pantang menginjakkan kaki ke desanya. Kehamilan hingga kelahiran bayi yang disembunyikan dulu,  tidak mampu menghindarkannya dari hukum adat di desa itu. Salina muda diusir pergi karena didakwa telah membawa aib desa mereka.

Seorang pemuda tanggung keluar dari dalam rumah dengan sikap canggung. Bu Murtari memeluk pemuda itu. “Adimas, sungkemlah pada ibumu. Dialah yang melahirkanmu, seseorang yang tidak pernah nenek ceritakan keberadaannya darimu. . . . .!” ujar, ibu dari Salina, menyuruh remaja itu untuk melihat siapa yang datang.

Bu Salina terjingkat kaget, lalu menjerit histeris. Pingsan! Disangkanya darah dagingnya itu telah lama mati. Selama itu ia justru merawat bayi-bayi lain yang tidak dikenalnya.

Pak Lukito bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan.Namun otaknya cepat berpikir, agaknya itulah yang disembunyikan Bu Salina selama ini.  

Bu Murtari mengajak Pak Lukito menjauh, dan berbisik : “Beberapa lelaki tak bertanggungjawab memberi minuman keras pada Wasi, lalu merudapaksanya dengan bengis. Warga tidak tahu aib ini, sampai salah seorang diantara mereka membuat pengakuan tertulis sebelum bunuh diri! Kalau kamu betul mencintainya, ibu berharap berlapang-dadalah atas peristiwa ini . . . .!”

Bandung, 24 Mei 2016

rumpies-the-club-logo-56da9caf61afbda812289f2a-574423fb707e6116074b3260.jpg
rumpies-the-club-logo-56da9caf61afbda812289f2a-574423fb707e6116074b3260.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun