Tidak berlebihan jika dua buku Aan ini menjadi kepanjangan tangan kita, jembatan menuju kedalaman pikiran kita: bahwa ada hal yang perlu kita catat dan pahami, ada yang hilang dan pantas untuk diperjuangkan, selain takhta dan materi belaka.
"Srimenanti," menjadi debut Joko Pinurbo dalam menulis novel.
Srimenanti sebagai tokoh sentral dalam novel ini menjadi keterwakilan problematik bagi generasi kekinian di tengah pusaran arus teknologi dan ideologi. Meski banyak catatan dan kutipan puisi terutama dari Sapardi, novel ini memberikan corak lain sebagai karya fiksi. Jokpin piawai sekali dalam meramu kata menjadi cerita yang menarik, bahkan dalam puisi-puisnya sekalipun.
Dan Joko Pinurbo menjadi sedikit penyair yang merepresentasikan karyanya untuk dicermati lebih jauh dalam medium luas jagat kepenulisan kita.
Sebagai novel, cerita Srimenanti mengisyaratkan pertemanan tokoh-tokohnya dengan beberapa penulis yang barangkali dicomot untuk melengkapi dan mewarnai latar dan alur, agar kutipan puisi dari beberapa penulis menjadi pas dan klop. Juga frasa, hujan, kopi, bahkan "asu" menjadi pelengkap dan pemanis dan tentu, cara bertutur Jokpin yang khas dan kadang terselip kejenakaan, pertanda bahwa buku ini menjadi sahabat yang menghibur dan memberi cukup ruang untuk kita renungkan bersama.
Alhasil, ditengah impitan ketidakpastian kapan pandemi berakhir, dan sembari perlahan menyesuaikan dengan adaptasi baru, spirit yang sedikit melemah, cahaya yang tampak meredup, buku-buku puisi dan novel di atas seperti kehadiran peluk hangat, bara dan gelora yang meniupkan asa. Kita tidak pernah akan seperti apa besok. Tetapi matahari tidak akan berhenti bersinar, seberapapun mendung tebal menghalangi garis-garis cahaya menembus sampai ke bumi.