Puisi Sugiyanta Pancasari
harum keringatmu,
terngiang sejauh aku berpetualang
sepanjang jalan aku menggelandang
megah ramuan rempah, segagah puisi yang terbit setiap pagi,
aromanya sejujur melati
teduh rengkuhmu, mendekap tangisku
yang tiada kunjung berhenti, di hari-hari yang keras itu
pada rimbun kota, kerinduanku tumbuh belantara, dihimpit sesak dan jerit prahara, sudut-sudut tak terbaca
pahat dan lipat keriputmu, tebing curam, tempat aku mendaki sesat keterasinganku dan selalu kubawa serta airmataku
asap dan jelaga menjilat gelora, memecah gurih kuah, yang mengental dan mengkristal, di kepingan-kepingan tubuhku,
selembut rajutmu yang gagal kusambut, bahkan dalam igauan paling kusut
tak ada yang tersisa di tungku itu, sebongkah bara telanjur kecewa menunggu tiup jemariku yang terbakar terik di perantauan yang pelik
segala apa yang aku cari tak pernah aku temui sebab yang kuingin hanyalah sedap remah hati yang tersisa di mangkuk tanah, tak terjamah kecuali tanganku yang gemetar,
jantung yang kencang berdebar
tak ada kehilangan sebab tak ada yang aku miliki, sesobek kebayamu,
di lemari berdebu, kehampaan-kehampaan mencium ranum jejakmu sesenyap keheningan di dasar periuk tanah, penuh kerak,
tempat kerinduanku bermandi darah, dari sayat kekejamanku sendiri, yang tak pernah kuukur seberapa dalam aku mengubur airmata di tumpukan piring yang retak, mimpi yang terkoyak dan tak tertanak.
Jogja, 11 April 2021