Mohon tunggu...
Kang Sugita
Kang Sugita Mohon Tunggu... pegawai negeri -

seorang bapak guru di pelosok gunungkidul

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Berhenti Merokok : Mengapa Tidak?

29 Juli 2010   07:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:30 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Merokok, bagi sebagian orang adalah sesuatu yang seakan-akan tidak bisa dipisahkan dari hidupnya kecuali oleh kematian. Merekaselalu mempunyai alas an untuk selalu merokok, merokok, dan merokok lagi. Meski seribu nasihat dengan berbagai alas an baik alas an rasional, alas an medis, maupun alasanagama dianjurkan kepadanya, para perokok selalu memiliki alasan untuk mengacuhkannya, dan bahkan membaliknya dengan serangan terhadap para pemberi nasihat.

Merokok memang sebuah pilihan, dan menurut para pemuja hak azasi, adalah salah satu pilihan azasi yang tidak boleh dibatasi oleh siapapun. Namun demikian, sudah tentu pelaksanaan hak azasi seseorang harus memperhatikan juga hak azasi orang lain di sekitarnya. Para penganjur hak azasi juga sepakat bahwa hak azasi seseorang dihak azasi orang lain, yang memiliki hak azasi yang sama. Hak azasi perokok dibatasi hak azasi orang lain di sekitarnya untuk menghirup udara yang bebas dari asap rokok. Dengan demikian, dapatkah seorang perokok memberikan hak orang di sekitarnya yang tidak merokok untuk menhirup udara yang bebas dari asap rokok ketika dia merokok? Jika tidak, seharusnyalah para perokok tidak menuntut pelaksanaan hak azasinya untuk menikmati rokok, sebab dia sendiri tidak bisa memberikan pelaksanaan hak azasi orang lain yan tidak merokok pada saat bersamaan. Seharusnya para perokok hanya merokok di tempat yang semua orang disekelilingnya adalah perokok.

Bagaimana dengan kebiasaan merokok di dalam rumah sendiri? Adakah ada hak azasi yang dilanggar juga? Jika dalam rumah itu ada istri dan anak-anak yang tidak merokok, tentu saja hak azasi mereka telah terlanggar oleh seorang ayah atau kakak yang dengan gagahnya merokok di dalam rumah. Jika dia seorang muslim, suatu ironi terjadi antara apa yang dia ucapkan dalam sholat dengan kebiasaannya merokok, terutama di dalam rumah. Dalam sholat setidaknya mereka mengucap salam dua kali ketika mengakhir sholatnya, mengharapkan keselamatan kepada orang-orang di kiri dan kanannya termasuk keluarganya. Namun dengan asap rokoknya, dia telah meracuni orang lain termasuk anak dan istrinya. Sebab kita semua tahu dan memahami, bahwa perokok pasif (orang yang tidak sengaja menghisap asap rokok) jauh lebih berbahaya dari pihak perokok itu sendiri. Sehingga kalau setiap hari dia memberikan racun dalam asap rokok kepada anak dan istrinya, bukankah itu berarti dia telah mengabaikan larangan Allah supaya tidak membawa orang lain ke dalam kehancuran?

Ketika disodorkan berbagai bahaya yang dapat ditimbulkan dari kebiasaan merokok, mereka biasanya selalu menampik dan mentertawakannya. “Buktinya selama ini saya dan keluarga saya sehat-sehat saja, meski setiap hari saya menghisap asap rokok. Bandingkan dengan si Anu, yang tidak pernah merokok, justru sangat sering menderita sakit. Jadi, tak terbukti bukan bahwa merokok membahayakan kesehatan?” Begitu yang sering terdengar nyaring dari mulut para peokok. Jika sampai saatini mereka masih sehat, sementara yang tidak merokok justru sering sakit, barangkali Allah tengah menguji mereka dengan karunia sehat yang diberikan kepadanya. Dan ternyata memang banyak orang yang tidak lulus ketika menghadapi ujian yang berupa kenikmatan.

Ketika Majelis Tarjih PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa merokok adalah haram, banyak orang yang terang-terangan menolaknya. Bahkan ada beberapa oknum pengurus Muhammadiyah yang kemudian memilih meninggalkan organisasi ini karena tidak sependapat dengan fatwa haram tersebut. Mereka berpendapat tidak ada satu pun ayat Qur’an maupun hadits yang menyatakan bahwa rokok itu haram. Sehingga mereka menganggap adanya fatwa haram terhadap rokok justru bertentangan dengan perintah Allah, bahwa kita dilarang mengharamkan sesuatu yang halal. Namun mereka lupa bahwa Allah dan rasulnya mengharamkan sesuatu tidak selalu dengan menyebut secara langsung kepada barang yang diharamkan. Beberapa benda diharamkan berdasarkan kriterianya, diantaranya adalah benda-benda yang dapat merusak, menimbulkan ketergantungan, kotor (najis), dan kriteria yang lainnya.

Mengenai kriteria merusak, telah banyak diungkapkan para ahli di bidang kesehatan. Begitu banyaknya kandungan zat-zat kimia berbahaya dalam rokok (asap rokok), memang sebagian tidak bisa langsung diamati akibat negatifnya. Banyaknya hasil penelitian yang menunjukkan kerusakan organ dalam tubuh manusia yang disebabkan rokok, seharusnya bisa menyadarkan para perokok. Namun kenyataannya mereka menolak, bahkan secara demonstratif memamerkan kebanggannya merokok. Juga mengenai kenyataan bahwa mengakibatkan kekotoran, dengan angkuhnya mereka menjawab bahwa yang tidak merokok juga tidak bebas dari kotoran. Meski disadari ataupun tidak mereka telah mengabaikan kaidah bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman, mereka tidak memperdulikan lagi banykanya abu dan punting rokok yang bertebaran di lantai maupun di halaman. Kalaupun mereka menampung abu dan puntungnya dalam asbak, sebuah kenyataan bahwa setelah selesai merokok, mereka meninggalkan asbak yang penuh dengan abu dan punting rokok begitu saja di atas meja. Bersihkah keadaan seperti ini?

Kenyataan lain bahwa merokok telah telah menimbulkan ketergantungan selalu mereka tampik. Merka selalu bilang bahwa mereka tidak merasakan ketergantungan terhadap rokok. Namun dalam kenhidupannya, mereka tak mau meninggalkan rokok. Mereka merasaada yang kurang jika setelah makan tidak menghisap rokok. Mereka kurang percaya diri untuk memulai pembicaraan dengan orang yang belum dikenal tanpa terlebih dahulu menawarkan rokok. Mereka selalu bialang bahwa mulutnya terasa pahit jika beberapa jam mulutnya tidak disumpal dengan batangan rokok. Bukankah itu semua pertanda ketergantungan terhadap rokok? Jika mereka memang tidak tergantung terhadap rokok, tentu saja dengan mudah berhenti dari kegiatan merokok. Faktanya mereka tidak bisa meninggalkan kebiasaan merokok, jadi betulkah mereka tidak mengalami ketergantungan?

Kenyataan lain bahwa merokok adalah termasuk pemborosan yang sia-sia. Mereka (para peokok) sering berkilah, bahwa meski mereka setiap hari mengeluarkan biaya beberapa ribu rupiah untuk merokok, ternyata tidak menimbulkan kemiskinan. Sedang mereka yang tidak pernah mengeluarkan biaya untuk merokok juga tidak menjadi kaya. Jadi mengapa ini saya katakana sebagai pemborosan yang sia-sia? Rasanya sampai detik ini saya belum pernah mendengar orang yang mati karena tidak merokok. Dengan demikian, jika mereka merasa bahwa uang yang dibelanjakan untuk merokok tidak mengurangi belanja keluarganya, tentu akan lebih bermanfaat bagi orang banyak yang sebenarnya sangat membutuhkan bantuan untuk sekedar membeli makan. Sebab kita pasti sepakat bahwa jika seorang tidak makan, sudah tentu akan mengalami kesulitan untuk mempertahankan kehidupannya. Bukankah lebih baik dan bermanfaat, juga berpahala jika anggaran rokok diberikan/disumbangkan kepada para fakir, miskin, anak yatim yang sangat membutuhkan bantuan untuk mempertahankan kehidupannya. Jadi mengapa mereka lebih bangga membelanjakan uang mereka untuk rokok, sementara begitu pelitnya kepada fakir miskin dan anak yantim yang terlantar.Jujurlah saudaraku, berapa rupiah dalam sehari engkau berderma, dan berapa rupiah yang telah engkau hamburkan untuk rokok? Rasanya kita terlalu pelit untuk membeli sorganya Allah, tetapi begitu bangga untuk membeli neraka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun