Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rumah Kecil yang Asri

19 Agustus 2016   21:12 Diperbarui: 19 Agustus 2016   21:16 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: www.andriewongso.com

Suatu sore yang indah kami melewati jejeran pohon Tanjung yang bunganya berserakan di jalanan. Saya berkata kepadanya, “Rama, kali-kali khotbahnya yang semangat dong! Kalau ibadat sore hari, jemaatnya banyak yang tertidur.” Saya berpikir dia akan marah. Saya sudah siap-siap kena semprot. Eh..., dengan tertawa khasnya, dia  menjawab kalem.

“Guido, aku ini sudah seperti ini dari sononya, hehehe...” Inilah salah satu keunggulan rohaniwan bijak itu: kerendahan hati. Dia sangat bersahaja dan dengan ikhlas menerima perlakuan yang menurut saya kurang pada tempatnya. Pastoran seolah-olah hanya untuk Pimpinan,  tamu-tamunya, dan juga anak-anak kesayangannya.

Dia sendiri kalau  menerima tamunya di teras belakang.  Seingat saya,  sekali pun saya belum pernah  diajak mengobrol di sana. Sepertinya dia hanya punya seorang sahabat yang cukup akrab untuk berbagi rasa, yaitu Pater MAW Brouwer, OFM. Jika pimpinan cuti, sudah pasti Pater Brouwer yang menemaninya.

Yang saya bangga dari rohaniwan ini ketika mengunjungi orang sakit. Dia sungguh-sungguh menghadirkan suasana hening, khidmad dan doa yang tulus. Si sakit diajak berdoa, menyatakan pertobatan, merenungkan Kitab Suci, memuji Tuhan, mengajukan permohonan dan mendapatkan berkat. Si sakit benar-benar merasakan kehadiran Tuhan dan mendapatkan penguatan. Seolah kekuatan baru muncul. Kekuatan untuk secara ikhlas menerima duka derita itu dengan sukarela.

Acara untuk mengunjungi orang sakit memang agak lama, tetapi si sakit justru merasa damai dan gembira mendapat kunjungan yang membawa berkah itu. Karena banyak orang yang sakit, maka tidak mungkin dia mengunjungi semuanya. Sekali-sekali saya diminta untuk melakukan kunjungan itu sambil membawakan berkah dalam doa. Dengan setia saya jalani kunjungan kepada orang sakit itu, sampai saya sendiri akhirnya jatuh sakit, dan tidak dapat lagi melakukan kunjungan.

Sebelum sakit, saya pernah diajak ke rumah keluarganya di Jalan Sukabumi Dalam. Ternyata dia masih memiliki seorang ibu, dan adik laki-laki yang kabarnya memiliki sebuah Yayayan Pendidikan yang punya sekolah di Jalan Jakarta. Mereka tinggal di sebuah rumah berlantai semen. Bahkan sampai sang ibu wafat rumah itu plafonnya belum terpasang. Di atas ranjang besi tempat tidur Ibu terpasang plastik-plastik untuk menghindari cipratan air waktu hujan. Rumah itu berada di belakang pabrik karet. Kalau angin bertiup dari Utara, akan tercium bau karet cukup menyengat.

Suatu pagi yang sudah dijanjikan kami bertiga berkumpul. Rama, adik lelakinya, dan saya. Hari itu  sangat cerah. Dia berkata, “Guido, hari ini sungguh cerah. Beranikah kamu menerima tantangan? Kita akan berjalan kaki ke Makam Pahlawan Cikutra pulang pergi?“

Dari Jalan Sukabumi Dalam ke Makam Pahlawan, tanpa persiapan lagi..., saya membatin. Cukup jauh sih, ada sekitar 2,5 km, tapi  untuk menolak ajakan ini, saya malu.  Maka saya jawab dengan mantap, “Siap... Pastor!” 

Kami pun berangkat. Dia memakai jubah putih.  Sampai di Jalan Katamso, dekat Pusat Pendidikan Infanteri (PPI) saya sudah ngos-ngosan dan tercecer di belakang. Beruntung, Pak Hoed, adik lelakinya,  baik hati menenemani saya. Sampai di Taman Makam Pahlawan, dia naik ke tebing sebelah Barat. Pohon-pohon cemara yang rindang, tegak berjajar di sana. Dia menunggu kami sambil tertawa, menertawakan saya.

“Ah... kamu masih muda, ternyata gak ada apa-apanya. Baru juga jalan segitu aja sudah krenggosan... hehehe.”

“Rama kan biasa jalan ke mana-mana. Lha kalau saya, biasanya kan naik kendaraan... hahaha,”  kilah saya sambil ngos-ngosan mengatur nafas. Kami pun menikmati udara segar yang dengan leluasa bertiup menghapus segala keletihan tubuh  ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun