Mohon tunggu...
Sugeng Abdullah
Sugeng Abdullah Mohon Tunggu... Dosen - Mengaku sebagai Sanitarian Indonesia. Ia adalah tipe orang desa yang tidak mau ketinggalan jaman, meskipun kenyataannya selalu ketinggalan. Memiliki latar belakang pesantren (Tebuireng), Kesehatan Lingkungan (SPPH,APK Purwokerto), Keguruan (IKIP Semarang), Teknik Lingkungan (ITS Surabaya)dan Ilmu Lingkungan (UGM Yogyakarta). Ia juga sebagai Dosen di Program Studi D3 dan D4 Kesehatan Lingkungan Purwokerto. Pernah diberi tugas tambahan sebagai Ketua Unit Bengkel Kerja, Koordinator II Bidang Kemahasiswaan, Ketua Program Studi, Ketua Jurusan, Anggota Senat Poltekkes. Penerima Penghargaan Satya Lencana Karya Satya dari Presiden SBY dan Jokowi. Aktif di organisasi HAKLI, APTKLI, MTKP, Koperasi dan Sosial Keagamaan

asli orang desa yang tidak mau ketinggalan jaman, meskipun kenyataannya selalu ketinggalan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Membuat Akun "Apa Ini Hoaks"

17 Juli 2018   09:30 Diperbarui: 17 Juli 2018   09:31 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Indonesia  boleh bangga, karena rakyatnya sudah banyak yang melek internet. Menurut  informasinya, orang Indonesia termasuk  lima terbesar pengguna internet di dunia. Kata-kata konek, tidak ada sinyal, di share saja, posting terbaru, paket habis,   itu hoax, dan lain lain, sudah terbiasa di dengar setiap hari. Di kota maupun di desa,  tua maupun muda, remaja maupun anak-anak, semua keranjingan internet. Semua keranjingan  sosmed.   

Indonesia harus khawatir, karena rakyatnya memiliki tingkat literasi yang buruk. Rakyat Indonesia kurang membaca buku, akibatnya sedikit sekali pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki. Daya analisis dan  logika yang dipunyai juga amat tumpul. Dampak dari itu semua adalah nyaris tidak dapat memilah dan memilih informasi yang benar dan bermanfaat, ketika memperoleh informasi yang begitu banyak dari internet atau sosmed.

Sebagian  (besar ?) orang  Indonesia dikenal menyukai barang instan.  Suka makanan instan, suka memperoleh kedudukan secara instan, suka mendapatkan uang secara instan, dan lain-lain. Konon, untuk memperoleh gelar kesarjanaan juga ada yang instan. Lahirlah  ijazah palsu dan  sarjana palsu. Tidak heran, apabila kemudian mereka menyukai, menyebarkan  atau membuat beragam produk palsu. Salah satu diantaranya  adalah informasi palsu atau informasi bohong. 

Sekarang, informasi palsu atau berita bohong  atau yang lebih  populair dengan istilah hoax, sudah sangat banyak dan bervariasi.  Tak terkecuali dalam bidang  agama. Berita yang berkaitan dengan agama akan mudah  menyentuh emosi  orang banyak. Produser berita bohong tentu sangat faham dengan kondisi demikian,  sehingga pasti akan membuat berita bohong  dengan tujuan tertentu. Tujuannya bisa politik - kekuasaan, ekonomi - bisnis, agama atau lainnya. Di dalam melakukan aksinya,  produser berita bohong pasti akan memanfaat  tingkat literasi orang indonesia yang  rendah itu.

Berkaitan dengan tingkat literasi yang memprihatikan, Anis Baswedan pernah berujar : " Sesungguhnya orang Indonesia memiliki minat baca yang tinggi, tapi memiliki daya baca yang rendah". Itu terbukti ketika seseorang menerima pesan di Whatsap, maka  akan segera dibaca. Sebaliknya, manakala pesan yang diterima itu panjang (apa lagi pesan itu  serius), maka biasanya tidak akan dibaca. Salah satu ciri berita bohong yang mudah menyebar adalah  berupa pesan instan. Yakni  pesan yang ringkas.

Pesan keagamaan yang ringkas akan cepat dibaca, cepat dimengerti, cepat diiyakan dan cepat disebarkan. Apalagi jika dibumbui "argumentasi atau dalil" yang disertakan, pesan akan lebih cepat menyebar.  Sedikit sekali orang yang membaca pesan seperti itu  ikut  mengkaji  argument atau  dalil yang disertakan tersebut sahih, lengkap atau tendensius.  Oleh karena itu sangat perlu adanya  "saluran" untuk mengkonfirmasi pesan-pesan seperti itu hoax atau bukan.

Saat ini memang telah ada  beberapa metode /cara untuk  memeriksa pesan hoax atau bukan melalui google.com, akan tetapi  tidak semua orang mampu dan mau melakukannya. Terkesan ribet bagi kebanyakan orang dengan tingkat literasi rendah.

Seandainya saya menjadi Menteri Agama, saya akan kumpulkan anak-anak muda berakhlaq bagus dan pintar, dari seluruh  pondok pesantren dan perguruan tinggi di Indonesia.  Saya akan pilih mereka yang pintar ilmu agama dan pintar teknologi informasi.  

Untuk memudahkan kerja ini, saya akan minta bantuan para kyai pengasuh pondok pesantren dan pimpinan perguruan tinggi untuk memilih anak muda yang memiliki kriteria dimaksud. Saya katakan kepada  para kyai dan pimpinan perguruan tinggi, bahwa anak-anak muda yang  terpilih nanti akan diberi tugas berjihad memerangi berita hoax, khususnya di bidang keagamaan. Untuk sementara di bidang agama Islam terlebih dahulu.   Mereka akan menjadi sukarelawan  dalam akun "apa ini hoax".

Akun "apa ini hoax"  dibuat di semua  layanan  medsos yang ada di jagat internet. Diantaranya  FB, WA, Twiter, Catfish, Call Id, dll.   Akun ini akan saya publikasikan sebagai akun resmi dari Kementerian Agama yang khusus untuk menkonfirmasikan pesan hoax.  Apabila masyarakat  menerima pesan yang  meragukan kebenarannya, maka mereka dapat  langsung  bertanya dengan meneruskan pesan tersebut kepada akun "apa ini hoax".  

Begitu ada pesan masuk  pada akun "apa ini hoax", maka para sukarelawan  yang  terdiri anak-anak muda pintar dan berakhlaq mulia ini akan langsung mengkaji kebenarannya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun