Mohon tunggu...
Sugeng Abdullah
Sugeng Abdullah Mohon Tunggu... Dosen - Mengaku sebagai Sanitarian Indonesia. Ia adalah tipe orang desa yang tidak mau ketinggalan jaman, meskipun kenyataannya selalu ketinggalan. Memiliki latar belakang pesantren (Tebuireng), Kesehatan Lingkungan (SPPH,APK Purwokerto), Keguruan (IKIP Semarang), Teknik Lingkungan (ITS Surabaya)dan Ilmu Lingkungan (UGM Yogyakarta). Ia juga sebagai Dosen di Program Studi D3 dan D4 Kesehatan Lingkungan Purwokerto. Pernah diberi tugas tambahan sebagai Ketua Unit Bengkel Kerja, Koordinator II Bidang Kemahasiswaan, Ketua Program Studi, Ketua Jurusan, Anggota Senat Poltekkes. Penerima Penghargaan Satya Lencana Karya Satya dari Presiden SBY dan Jokowi. Aktif di organisasi HAKLI, APTKLI, MTKP, Koperasi dan Sosial Keagamaan

asli orang desa yang tidak mau ketinggalan jaman, meskipun kenyataannya selalu ketinggalan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Relevansi Ajaran "Laku Pitu" dengan PHBS

19 Februari 2013   08:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:03 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Watu Petilasan mbah  Sani Taryan

Oleh : Sugeng Abdullah

Harusnya tidak boleh dipercaya, karena dapat mengakibatkan kemusyrikan. Namun faktanya batu itu masih tegar dan utuh. Tidak didapatkan penjelasan resmi dari pejabat setempat, kenapa batu itu dibiarkan utuh pada saat terjadi pekerjaan cut & fill pembangunan gedung pendidikan Kampus 7 Poltekkes Semarang  tahun 2011. Mungkinkah hanya karena alasan teknis?, atau historis?, ekologis?, estetis? atau malah karena alasan mistis?. Inilah pertanyaan yang selalu menggelayut bagi para tamu yang berkunjung ke Kampus 7, ketika melihat batu besar teronggok di sudut utara bangunan gedung utama yang berlokasi  di Jln Baturraden Km 12 Purwokerto.

Tidak bisa dipungkiri adanya kemunculan mitos dan cerita mistis,  ketika banyak mata yang melihat dua buah alat berat tak mampu mengusik keutuhan batu tersebut. Demikian juga ketika dua orang pemecah batu yang biasa menaklukan batu angker, ternyata menyerah setelah seharian berupaya memecah batu itu. Pemecah batu itu hanya berkomentar “Tidak berani, meski dibayar mahal”. Beberapa orang tua yang dianggap mengerti muasal batu itu hanya berpesan “Biarkan saja, jangan diganggu”. Kesan serem semakin kental bila ditambah lagi dengan pengakuan beberapa pekerja yang merasa dipangil-panggil seseorang dari arah batu itu, dan setelah didatangi ternyata tidak ada siapa-siapa.

Barangkali hanya rekaan atau bualan belaka yang menyatakan bahwa batu itu sebenarnya adalah “watu petilasan”.  Banyak versi tentang kisah watu petilasan tersebut, salah satu kisahnya adalah tentang  Nyi Sani dan Mbah Taryan. Konon dua orang  yang berjenis kelamin berbeda itu  sebenarnya masih kerabat, tetapi ketika  masih kecil hingga remaja keduanya saling berseteru. Keduanya selalu bersaing,  saling mencurigai dan saling mengintai. Memang, meskipun masih remaja keduanya dikenal kuat dan sakti. Keduanya terkesan berebut pengaruh dan berebut perhatian di lingkunganya.  Teman-teman sebayanya nyaris semua sudah meninggal dunia ketika ada “Pageblug” (wabah penyakit mematikan).

Nyi Sani dan Mbah Taryan kecil, dahulunya suka berebut mendahului memanfaatkan batu itu sebagai tempat berjemur pada pagi hari. Seperti sudah ada perjanjian diantara keduanya. Apabila Nyi Sani sudah lebih dulu menempati batu itu sebagai tempat berjemur, maka Mbah Taryan kecil akan mundur atau menanti Nyi Sani kecil selesai berjemur. Demikian sebaliknya. Kejadian seperti  ini terus berlangsung dalam waktu yang lama.  Hingga suatu ketika keduanya saling “kepethohok” (berpapasan secara tiba-tiba tanpa menyadari sebelumnya). Keduanya saling bertemu pandang, kemudian saling bentak dan saling hardik. Keduanya juga ternyata saling terkesan setelah melihat langsung dari jarak dekat. Singkat cerita,  Selanjutnya keduanya  saling tertarik dan akhirnya Nyi Sani dan Mbah Taryan  remaja sepakat menikah. Dan ritual pernikahannya berlangsung di atas batu  besar itu.

Nyi Sani dan Mbah Taryan dikenal kuat dan sakti, bukan karena keduanya tidak mempan senjata, melainkan karena keduanya semenjak kecil tidak pernah sakit. Keduanya dikenal pintar memberi wejangan pada orang-orang  agar tidak sakit. Orang-orang yang patuh terhadap wejangan Nyi Sani dan Mbah Taryan ternyata tidak sedikit. Semuanya berhasil tetap sehat,  kuat dan tak pernah sakit. Wejangan itu dikenal sebagai “Laku pitu”. Laku pitu tersebut dituangkan dalam mantera : “Ngising ngucing, Medang jarang - Madhang pepek,  Kudhu brukut - Ranana runtah,  Adoh udhud -  Idhep awak”.  Laku pitu itulah yang secara konsisten  diajarkan dan dilaksanakan oleh Nyi Sani dan Mbah Taryan.

Nyi Sani memang memiliki  perilaku sangat berbeda dengan kebanyakan orang di zamannya. Beliau selalu perhatian terhadap kebersihan diri (Idhep awak). Beliau selalu cuci tangan bila dirasa kotor atau ketika mau makan. Kuku kaki dan tanggannya terpelihara rapih dan bersih. Rambut dan kulitnya bersih bercahaya, karena selalu mandi dan keramas secara teratur. Beliau tidak pernah membuang ludah di sembarang tempat.  Beliau selalu buang air besar dengan cara seperti kucing (ngising ngucing), yakni kotoranya selalu dikubur dan ditempat agak tersembunyi. Ketika itu kebanyakan orang buang air besar di sungai atau di sembarang tempat. Nyi Sani juga selalu minum air yang direbus (medang jarang), juga ketika untuk mandi. Sementara kebanyakan orang selalu minum air secara langsung  tanpa direbus terlebih dahulu. Demikian juga soal makan, beliau selalu menerapkan pola  menu yang beragam (madhang pepek).

Mbah Taryan juga memiliki kebiasaan istimewa, sangat berbeda dengan kebanyakan laki-laki pada zamanya. Beliau sangat menghidari asap tembakau (adoh udhud), beliau tak pernah merokok. Padahal pada zaman itu semua laki-laki pasti merokok. Kalau bepergian bertamu, Mbah Taryan selalu membawa “ilir” (kipas) dan tongkat sapu lidi. Tujuan utama membawa kipas adalah untuk mengusir asap tembakau yang mendekatinya, disamping  untuk mendapat kesejukan saat suasana gerah atau panas. Mbah Taryan sangat  tidak suka kalau melihat lingkungan sekitar kotor.  Kadang-kadang, bahkan tanpa ijin empunya, apabila mendapati lingkungan kotor atau halaman rumah yang  dikunjungi  bertamu banyak sampah berserakan Mbah Taryan langsung beraksi. Tongkat sapu lidinya di urai dan digunakan untuk menyapu. Prinsip yang beliau pegang teguh dan selalu dilaksanakan adalah lingkungan harus bersih dari sampah (tidak ada sampah = ranana runtah).

Nyi Sani dan Mbah Taryan  juga memiliki kebiasaan  selalu melidungi diri dari kemungkinan gangguan alam.  Meski sederhana, rumah panggungnya terkesan luas, terang, kering dan bersih. Dinding dan atapnya dibuat rapat dan tidak terlihat adanya tikus,   laba2 atau serangga lainnya.  Keduanya selalu menggenakan pakaian yang nyaris komplit dan lengkap untuk melidungi dari terik matahari, gigitan serangga atau terpaan angin. Oleh karenanya beliau berdua sering berpesan : “Men waras ya kudhu brukut” (kalau ingin sehat ya harus brukut).  Brukut dapat diartikan sebagai keadaan serba lengkap dan rapat serta terlindungi, baik untuk  cara berpakaian ataupun untuk  rumah dan perlengkapan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun