Mohon tunggu...
Sugeng R. Bralink
Sugeng R. Bralink Mohon Tunggu... Perawat - Pekerja Migran Indonesia di Qatar

Berbagi tak selalu dengan harta. Dengan karya jurnalisme yang benar dan terpercaya, kita bisa berbagi kebaikan untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Surat Terbuka CEO INT untuk Ketua MTKI

20 Agustus 2015   19:23 Diperbarui: 20 Agustus 2015   19:23 1363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketiga, bekerjasama dengan Dikti, sederhanakan proses Ukomnya. Yang terjadi saat ini seolah-olah STR lebih tinggi nilainya ketimbang ijazah. Mahasiswa sesudah lulus bingung, karena tidak seperti jurusan pendidikan umum. Apalagi orangtua mereka. Sudah lulus, koq tidak boleh kerja? Mereka harus menunggu Ukom kemudian STR tanpa ada batasan waktu yang jelas, baru bisa melamar kerja. Itupun belum tentu diterima. Bukankah ini dirasakan sangat menyulitkan?

Keempat, kami menyadari Team MTKI sangat sibuk. Oleh karenanya, kami sangat merasa terhormat sekiranya sebagian beban kerja MTKI didelegasikan kepada perawat. Bila perlu, berikan otonomi, bentuk Majelis Tenaga Keperawatan Indonesia. Singkatanya sama-sama MTKI Pak. Supaya lebih terkesan dari, oleh dan untuk perawat Indonesia. Sekiranya tolok ukur kedewasaan perawat Indonesia adalah tingkat pendidikan, pada dasarnya kami juga sudah memiliki banyak doktor dan profesor di negeri ini, yang terancam nganggur jika tidak mengantongi STR.

Kelima, kami, perawat Indonesia, ingin menjadi bagian dari solusi negeri ini. Bukan sebaliknya, menambah permasalahan menjadi lebih rumit. Kami rasa Bapak sependapat dalam hal ini.

Saya yakin, generasi seperti saya dan Bapak tidak turut merasakan sengsaranya mereka. Saya kurang tahu apakah profesi Bapak juga sebagai perawat atau tidak. Sejujurnya, saya sudah menikmati kenyamanan dari hasil profesi ini. Apalagi saya besar di luar negeri.

Bapak Kepala MTKI yang kami hormati

Saya pernah menerima perawat muda asal Sumbawa Besar yang digaji Rp 120 ribu/bulan. Di Poncoskusumo Malang, perawat yang menjadi tenaga Sukarelawan sekitar 40 orang, dibayar oleh pemerintah daerah Rp 500 ribu. Itu jika lancar. Puluhan pula saya lihat di Pontianak menunggu magang. Belum lagi di Aceh, Sulawesi Selatan, NTB, NTT hingga Papua. Sedih saya melihatnya.

Bapak Kepala MTKI yang kami hormati.

Kami perawat Indonesia, sesudah tinggal negara yang baru saja merayakan hari kemerdekaan ke 70 tahun ini, jadi tanda tanya: kapan sertifikasi semacam STR ini segera dibenahi? Jika memang STR itu dibuat demi kepentingan kami, mengapa masa depan kami yang harus dikorbankan? Kami percaya, memang bukan itu tujuannya. Sayangnya, itulah persepsi yang terjadi di lapangan.

Akhinya, saya pribadi, Syaifoel Hardy, mohon maaf atas kelancangan Surat terbuka ini bila dirasa kurang sopan. Terimakasih atas kesediaan Bapak membaca surat ini.

Sebagai perawat senior, barangkali saya tidak berkepentingan dengan STR. Saya tidak kerja di RS, klinik atau balai kesehatan yang menyentuh pasien. Hidup saya, alhamdulilllah, sudah mapan. Namun melihat perawat muda tanpa kerjaan di lapangan, saya tidak mau munafik, bahwa turut berduka.

Benar, bahwa saya sangat menyukai profesi keperawatan Indonesia ini agar dengan STR, bisa maju, profesional dan tersertifikasi. Semua pihak setuju, kedudukan perawat kita harus sejajar dengan perawat lain di luar negeri. Namun apalah arti sertifikasi, jika menyisakan ribuan generasi terdidik ini, terlunta-lunta tanpa penghasilan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun