Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kesan Membaca Buku Fiksi dan Non-Fiksi

25 Agustus 2021   10:24 Diperbarui: 25 Agustus 2021   10:30 6688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.depositphotos.com/stock-photos/tumpukan-buku-di-luar-ruangan.html

Walaupun demikian, membaca kedua jenis buku baik fiksi maupun non-fiksi, menurut saya adalah asupan baca yang harus saya lakukan. Karena ketika bacaan fiksi yang cenderung membentuk imajinasi, haruslah selalu diimbangi dengan bacaan yang berbasis data, argumen dan tanpa tendensi apapun.

Keenam, hemat saya, buku fiksi dan non-fiksi perbedaanya ada di dasar penulisan. Jika buku fiksi ditulis berdasarkan imajinasi penulis, sedangkan buku non-fiksi ditulis berdasarkan pengamatan dan data yang ada pada kenyataan.

Perihal kesan membaca buku fiksi dengan buku non-fiksi, rasanya hampir sama. Menurut saya sebuah buku terasa enak untuk dibaca bergantung pada penulisnya.

Contoh buku non-fiksi yang ketika dibaca terasa seperti buku fiksi diantaranya buku Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Syaikh Shafiyyurarrahman Al-Mubarakfuri, dan buku Outliers karangan Malcolm Gladwell. Kedua buku ini menghadirkan fakta dan data serta tulisan mudah dibaca, dipahami dan diimajinasikan.

Ketujuh, jika mengatakan buku fiksi dan non-fiksi, mungkin perbandingan sederhana yang sepadan adalah antara sastra dan filsafat. Ya, dua genre yang biasanya berdekatan tapi memberi kesan yang berbeda saat membaca. Kita pasti bisa mengira saat orang mendengar sastra, pasti yang dipikirkan adalah tulisan-tulisan puitis, indah, dan memainkan emosi. Sedangkan filsafat identik tentang bahasanya yang sulit dan membuat pusing.

Bagi saya, buku fiksi adalah pelarian dari buku-buku kuliah yang bisa dikatakan seluruhnya adalah buku non-fiksi. Sastra adalah pilihan tepat bagi pelarian. Puisi dan cerpen kurasa cukup untuk menjaga imajinasi agar tak hilang diserang rangkaian rumus praktis tapi rumit dari buku-buku kuliah.

Sedangkan buku non-fiksi (tertunya bukan buku kuliahku) bagiku seakan menjadi tuntutan mahasiswa agar bisa melihat dari berbagai sudut pandang. Ya walaupun cukup sulit dan harus teliti membaca, tapi cukup membantu saat obrolan di warung kopi menjadi berat ala-ala mahasiswa kritis.

Kedelapan, saya mengawali kesukaan saya terhadap membaca ketika saya masih duduk di kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah (MI) karena, saya sudah mulai dapat memahami sebuah teks cerita dan sering dibelikan majalah Bobo oleh teteh saya. Saya mengawali kesukaan membaca dari bacaan fiksi. Dalam bacaan fiksi melatih daya imajinasi apalagi terdapat banyak gambar ilustrasi (meski memang bacaan non-fiksi ada juga yang memakai gambar ilustrasi) sehingga cocok untuk menarik minat bagi pembaca pemula.

Bacaan non-fiksi identik dengan ilmu akademik. Lebih lanjut saya lebih menyukai bacaan-bacaan non-fiksi karena di dalamnya biasanya terdapat informasi yang saya butuhkan dalam dunia nyata untuk dipraktekkan ataupun sekedar dipahami saja. Alhasil saat ini saya lebih sering membaca non-fiksi karena kebutuhan informasi daripada hanya sebatas hiburan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun