Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemungkinan Arah Kegiatan di Masjid Setelah Pandemi

23 Agustus 2021   20:20 Diperbarui: 23 Agustus 2021   20:24 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada banyak kegiatan masjid yang digelar sebelum pandemi mendera. Kegiatan itu tidak hanya meliputi peribadatan semata, melainkan juga untuk meningkatkan kualitas sumber daya jamaah yang datang ke masjid. Kegiatan yang cenderung memuat kalam-kalam penyadaran, nasihat, dan penginsyafan.

Kegiatan di masjid berupa ngaji, kajian, dan diskusi membuat masjid berwajah intelektual. Sekian ilmu didedah di situ. Sebut saja dari yang paling lumrah di setiap masjid, ngaji al-Qur'an, hadits, sejarah nabi Muhammad dan nabi-nabi lainnya, fikih dari klasik sampai kontemporer, waris, kitab-kitab kuning yang tipis, dan pengajian yang manut dengan apa yang disampaikan si penceramah. Jamaah di kegiatan itu biasanya masyarakat yang mukim di sekitar masjid dan berumur.

Ada juga kajian-kajian unik yang hanya dimiliki masjid tertentu seperti ngaji filsafat, ngaji tasawuf pada kitab tertentu, ngaji cinta, kajian sains, pengajian pra-nikah, dan lainnya. 

Kegiatan ini biasanya dikonsumsi oleh kawula muda yang minat keilmuannya masih menggebu-gebu. Terlebih jika si penceramah memiliki keunikan tersendiri yang jarang ditemukan di penceramah-penceramah lainnya.

Namun kini seabrek ngaji, kajian, dan diskusi itu dialihkan ke digital dalam bentuk video atau audio. Kegiatan bernuansa ilmu didistribusikan melalui teknologi berkekuatan canggih. Berarti, pengurus masjid harus lekas beradaptasi dan belajar dari alat-alat itu.

Bagi mereka yang emoh ribet belajar lagi, memilih menutup kegiatan sampai pandemi dinyatakan pergi. Entah sampai kapan. Kita bisa berbaiksangka dengan menyebut mereka sebagai pengurus yang protektif kesehatan dan tidak mau ambil ribet, daripada harus menyebutnya sebagai pengurus yang kurang melek teknologi. Kenapa? Sebab tidak semua pengurus masjid digawangi oleh anak-anak muda. 

Coba perhatikan masjid-masjid yang letaknya di desa. Sering kita mendengar orang yang adzan, iqamah, sampai menjadi imam dalam lima waktu hanya itu-itu saja.

Tapi bagi mereka yang mencoba beradaptasi dengan teknologi baru akibat pandemi, hemat saya, mereka akan menyadari setidaknya dua hal. Bahwa kegiatan harus ditunaikan demi memakmurkan masjid, itu iya. Tapi dengan mempertimbangkan kondisi hari ini dengan berbagai ketentuan yang harus dijalankan demi melindungi jamaah, peralihan kegiatan ke digital menjadi jalan satu-satunya.

Pertama, ragam kegiatan berupa ngaji, kajian, dan diskusi itu saat dipindahkan ke digital, tentu saja akan banyak mendapat jamaah baru di luar targetnya. Misalnya pengajian fikih yang dulu hanya dialamatkan pada jamaah setempat, namun karena diunggah ke media sosial, maka yang melihat bisa lebih banyak. Tentu saja hal ini menjadi semacam apresiasi bagi si pengurus masjid.

Hanya saja jangan lupa, bahwa orang-orang baru itu memiliki latar belakang, kondisi psikologi, afiliasi politik, dan pendidikan yang berbeda-beda. Maka wajar jika pengajian fikih itu memperoleh kritik, cacian, pujian, ucapan terimakasih, sampai pada pemberian hadiah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun