Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bulan Kemerdekaan untuk Profesi yang Belum Merdeka

19 Agustus 2021   17:01 Diperbarui: 19 Agustus 2021   18:00 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lucunyagambarnya.blogspot.com

Dulu, setiap memasuki Bulan Agustus, anak-anak usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar sibuk dandan untuk pawai keliling. Mereka diharuskan mengenakan pakaian yang mencerminkan profesi yang dianggap mulia di negeri ini. Sebut saja pilot, polisi, dokter, guru, tentara, dan pakaian dinas lainnya.

Profesi yang belum mereka sadari bahwa, kelak di kemudian hari, profesi-profesi itu terlampau membumbung tinggi untuk mereka daki. Mereka juga belum sadar soal biaya yang diperlukan di tengah-tengah krisis ketahanan pangan keluarga yang mendera setiap hari.

Tapi tidak apa-apa. Kita memakluminya mereka sebagai anak kecil dengan narasi logika sederhana bahwa pekerjaan adalah mereka yang berseragam, berangkat ke kantor dengan sarapan pagi, pulang, lelah, dan gajian di akhir atau awal bulan.

Pun begitu kerap kita dengar ketika anak-anak seusia mereka ditanya, "Kalau besar nanti ingin menjadi apa?" atau "Apa cita-cita kalian jika besar nanti?"

Secara mudah kita bisa menebak jawabannya tidak akan geser dari profesi-profesi yang telah saya sebut di atas.

Nah, saya rasa di sini letak benih-benih problem yang akan dituai lima belas atau dua puluh lima tahun ke depan.

Begini, kita semua sebagai orang dewasa sadar jika profesi pilot, polisi, dokter, guru, tentara, dan profesi dinas lainnya tidak membutuhkan kuantitas dalam jumlah yang cukup besar. 

Maka dari itu, sejak awal mendaftar sampai dinyatakan masuk, proses seleksi yang dilakukan terbilang cukup ketat, baik dari sisi uang yang dikeluarkan maupun kualifikasi yang harus disiapkan.

Katakanlah di masa mendatang, negeri ini hanya perlu sepuluh ribu guru dengan kualitas yang mumpuni. Sedangkan ada dua juta anak yang sejak belia sudah digiring untuk menambatkan cita-citanya menjadi guru. Dua juta anak itu belum diitung lagi dengan angkatan di bawahnya sampai terpaut lima tahun. 

Sebab dalam dunia kerja, usia yang hanya selisih lima tahun bisa jadi dinilai seumuran. Bisa jadi juga tidak. Dari hitung-hitungan sederhana ini, saya rasa kita bisa membayangkan seberapa kompetitifnya akses agar bisa menyandang profesi sebagai guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun