Konflik melulu membuat manusia bertemu kondisi pelik. Terlebih konflik perebutan kekuasaan yang tidak jarang harus menelan korban. Persis seperti novel yang digubah oleh Eve Shi bertajuk Pingyan dan Pangeran Bayangan. Kendati ceritanya belum tentu nyata, tapi pesan yang disampaikan cukup relevan, bahwa konflik akan kerap bersua dengan perpecahan atau malah pemaafan.
Menilik muatannya, novel ini terbilang khas. Selain memadukan unsur roh gentayangan, pembaca juga disuguhi ragam petualangan unik dan asyik dari Chang Pingyan dengan Pangeran Huangli, putra kaisar dan permaisuri yang menjadi roh. Meski tidak bisa dipungkiri juga, bahwa sedikit banyak melalui perubahan sana-sini, novel ini tetap berkiblat pada kecenderungan penulisnya yang gemar terhadap genre wuxia dan supernatural.
Meski begitu, celah ini tertutupi dengan apik oleh penuturan bahasa dari penulisnya yang mudah dan ringan. Tidak hanya dari pemilihan diksinya, tapi dialog yang dibangun oleh tokoh utama serasa mengalir tanpa dibuat-buat. Pembaca malah sering dibuat melongo dan tersenyum tipis di tengah-tengah menikmati untaian kisah demi kisah di novel ini. Pun soal penempatan tanda baca yang bisa dijadikan prototipe para penulis novel pemula. Bahwa titik, koma, dan tanda petik tidak dicecer di sembarang kalimat.
Cerita dimulai dari perjumpaan Chang Pingyan dengan petugas kekaisaran yang sedang mencari ibu angkatnya, Chang Nalian, salah satu jendral kepercayaan kaisar. Si Pangeran Huangli ini merupakan kandidat pewaris tahta kekaisaran yang sah, karena terlahir dari rahim permaisuri. Namun hal itu tidak serta membuat semua orang takut dan tunduk pada Pangeran Huangli. Sebab, kaisar sendiri masih memiliki satu anak lagi yang usianya lebih tua dari Pangeran Huangli, namanya Pangeran Haoren. Ia lahir dari rahim selir raja.
Sebenarnya usia keduanya tidak terlampau jauh. Hanya saja relasi, kewibawaan, dan kecakapan memimpin lebih dimiliki Pangeran Haoren. Di sisi lain, selir kaisar ini sedikit banyak telah membangun sekutu untuk membuat Pangeran Haoren naik menggantikan kaisar kelak setelah wafat. Dan salah satu upayanya ialah menyingkirkan Pangeran Huangli, pewaris sah kekaisaran.
Pangeran Huangli semacam diracun ketika bersantap malam. Saat tertidur pulas untuk mengembalikan kebugaran tubuhnya usai diracun, Pangeran Huangli sudah mendapati rohnya terlepas dari jasadnya. Dan yang melakukan semua itu ialah Wei Guayo, orang kepercayaan selir raja.
Lantas apa hubungan polemik kekaisaran dengan Chang Pingyan? Lebih-lebih dengan ibu angkatnya, Chang Nalian? Begini, menurut Pangeran Huangli, orang yang bisa mengembalikan roh dan jasadnya menjadi satu hanya Chang Nalian. Maka malam itu ia bergentayangan dan pergi ke rumahnya untuk minta pertolongan. Dan naas, yang ditemui malah anak angkatnya, Chang Pingyan. Dari situ, keduanya menyusuri lembah cerita petualangan yang belum bertemu ujung.
Hanya saja yang agak disayangkan, karakter dua tokoh utama ini --Chang Pingyan dan Pangeran Huangli- hampir dibuat memiliki kepribadian yang sama persis. Keduanya polos, lugu, dan baik. Bedanya hanya dari jenis kelamin dan status sosial. Malah tokoh yang berlawanan hanya diberi porsi kemunculan sekali dua kali. Tapi bisa jadi juga ini strategi dari penulis agar pembaca terus berdecak penasaran sampai cerita menemui kata tamat.
Nah, terakhir soal cover yang saya rasa memicu pertanyaan. Kenapa pemilahan warnanya dominan pink? Apakah novel Chang Pingyan dengan Pangeran Huangli akan usai dengan tersenyum suka ceria dengan simbol warna pink? Padahal jika dilihat sekilas, novel ini malah menyiratkan gerak pedang untuk perang. Atau bisa jadi pemilahan warna itu yang dibubuhi bunga-bunga merupakan pilihan subjektif penulisnya sendiri?