Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Desa yang Telah Meninggal

4 Agustus 2021   14:53 Diperbarui: 4 Agustus 2021   15:03 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Meninggal, wafat, mangkat, dan berpulang ke sisi-Nya menjadi kata yang lumrah diucap-ketikkan. Kata itu melulu bersanding dengan kata turut berdukacita, turut berbelasungkawa, diampuni dosanya dan diberi ketabahan. Plus disertasi dengan emot berwajah sedih.

Memang sudah tak terhitung berapa orang-orang terkasih di sekitar kita yang pergi terlebih dulu. Paginya masih menyapa lewat pesan di media, malamnya sudah berpulang ke rumah terakhirnya. Kemarin masih bisa ngobrol bareng, makan bareng, bahkan ketawa bareng, tapi sepekan kemudian kita sudah tidak bisa menemuinya lagi. Kecuali tempat pembaringannya di dalam tanah dengan nisan bertuliskan namanya.

Kabar itu berlarut-larut kita dengar. Mungkin ada di antara kita yang setiap hari bisa mendengar kabar dari toa masjid atau mushola mengenai orang wafat sebanyak lima kali, bahkan bisa jadi lebih banyak dari itu.

Secara tidak langsung kabar itu memang memilukan. Membuat siapa saja, termasuk kita merasa was-was, khawatir, dan cemas.

Di Desa Ngale, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur grafik orang meninggal cenderung naik. Biasanya dalam tempo sebulan, orang meninggal di desa itu hanya 1-2, bahkan sering tidak ada kabar duka.

Namun di masa pandemi, desa yang dihuni penduduk sekitar 6500 jiwa ini mesti berhadap-hadapan dengan maut. Bulan Juni kemarin 12 dari 38 warganya meninggal karena mengikuti prosesi tahlilan di salah satu rumah warga. Bulan Juli angka itu naik menjadi 38 orang.

Kabar duka itu dimuat di Koran Kompas edisi Rabu, 04 Agustus 2021 dengan tajuk "Solidaritas Warga Kekuatan Hadapi Pandemi Covid-19". Kabar duka yang terselip di dalamnya rasa optimis agar bisa mentas dari kondisi yang runyam, sulit, dan menakutkan.

Di koran, edisi, serta muatan kabar yang sama juga dialami banyak desa di Indonesia. Melalui tajuk berita "Ketika Tsunami Covid-19 Masuk Desa", kita sebagai pembaca akan bertemu pada kabar banyak orang yang kehilangan keluarga dan belahan jiwanya.

Yang membuat berat kehilangan itu bisa jadi karena orang yang meninggal itu tidak pernah diduga akan mangkat secepat itu. Bisa jadi juga karena orang yang wafat adalah tumpuan ekonomi di keluarganya. Bisa jadi juga yang meninggal karena masih menyisakan janji-janji apik perbaikan hidup untuk orang-orang di sekitarnya.

Maka langkah-langkah yang tepat, yang diambil oleh masyarakat desa menjadi semacam upaya untuk menekan angka kematian. Misalnya dalam kabar tersebut tertera, "Untuk meminimalkan risiko korban jiwa, desa berinisiasi mengontrol dan membantu warga desa yang sakit dan menjalani isolasi mandiri. Namun, tetap ada yang tidak mau dibantu dibawa ke rumah sakit meski napas tersenggal-senggal".

Kalimat terakhir memang menjadi dilema, di satu sisi rumah sakit menyediakan fasilitas yang terbilang lengkap untuk menangani siapa saja yang sakit. Di samping itu pada masa pandemi, rumah sakit kerap mengalami letusan pasien.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun