Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anak, Pandemi, dan Pornografi

23 Juli 2020   09:55 Diperbarui: 23 Juli 2020   09:46 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi covid 19 menyerang banyak orang, tak terkecuali mereka yang masih di usia anak-anak. Bagi yang dinyatakan positif, seperti Hana Nuha, seorang anak dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur yang harus mengalami perasaan stress dan sedih layaknya orang dewasa[1]. Pasalnya, kebebasannya untuk bercengkerama dan bermain mau tidak mau harus diambil paksa oleh petugas medis demi kesembuhannya. 

Ia harus menjalani serangkaian pengobatan dan di karantina. Hari-harinya ia lewati dengan menatap tembok-tembok seperti penjara. Interaksi kepada orang terdekat, termasuk keluarganya juga harus dibatasi.

Hana Nuha dinyatakan positif karena tertular oleh ayahnya. Ia mengaku cukup merasa kesepian. Satu-satunya hiburan yang ia lakukan adalah beribadah. Pada titik ini, Hana bisa menjadi prototipe bagaimana religius manusia mengambil peran sebagai jalan alternatif untuk menenangkan diri dan berpikiran positif.

Sedangkan bagi anak-anak yang berada di rumah bersama keluarga bukan serta merta bisa dinyatakan sehat. Mereka juga rawan tertular covid 19 sekaligus mengalami gangguan mental berupa depresi dan cemas. 

Hasil survei U-Report Unicef Indonesia selama 2-5 Juni 2020 ada 68 persen pelajar sekolah yang membutuhkan materi komunikasi, informasi, dan edukasi terkait kesehatan mental yang disampaikan melalui media sosial dan dikemas dalam bentuk film pendek[2].

Setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakangi kenapa anak-anak cenderung berpotensi mengalami gangguan mental. Pertama, dunia anak adalah dunia bermain. Dan bermain tidak bisa mencapai kepuasan jika di dalamnya ada pembatasan, termasuk dibatasi interaksi anak dengan teman-temannya.

Kedua, karena ada pembatasan bermain dengan teman sebayanya, anak-anak kemudian disodori handphone sebagai wahana hiburan untuk menghilangkan bosan. Salah satunya Pak Wili, penjual mie ayam tetangga kos saya.

"Anak-anak tak batasi bermain handphonenya. Selain akhir pekan, anak-anak tidak boleh menggunakan handphone di luar aktivitas belajar dari sekolah. Itu pun juga harus diawasi oleh saya atau ibunya di rumah. Setelah itu, handphone ya kami ambil lagi", ujarnya.

Namun ada juga orang tua yang memberikan akses penuh menggunakan handphone kepada anak-anaknya. Biasanya ini dilakukan oleh para orang tua yang jam-jam sibuknya sama seperti jam belajar anak-anak. Daripada ribet harus bergantian handphone, alternatif paling tepat justru memberi fasilitas dan kewenangan menggunakan handphone kepada anak.

Terakhir yang tidak kalah mengkhawatirkan yakni adanya potensi konten pronografi yang mampir ketika anak sedang mengakses internet di handphone. Atau anak-anak malah memanfaatkan handphone itu untuk mengakses konten-konten yang berbau pornografi.

Data dari  Project Karma, lembaga nonpemerintah Australia yang membantu pemerintah untuk melindungi anak dari eksploitasi seksual, melaporkan bahwa sejak 1 Maret 2020 ditemukan 83 laporan dari Indonesia terkait eksploitasi sosial di facebook.

Sedangkan survei yang dilakukan oleh ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purpose) menemukan dari 1203 responden, sebanyak 287 orang mendapati pengalaman buruk saat berselancar di media sosial atau mengakses situs-situs tertentu. Mulai dari dikirim teks atau video vulgar, sampai dikirimi tautan pornografi dan diajak memperbincangkan konten yang tidak senonoh.

Adapun Yayasan Sejiwa malah sudah menemukan data anak-anak Indonesia telah terpapar pornografi sejak tahun 2017. Penemuannya sebanyak 95,1 persen usia SMP dan SMA di Yogyakarta, Jakarta, dan Aceh telah mengakses video pornografi melalui internet. Sebanyak 0,48 persen mengalami kecanduan ringan, dan 0,1 persen kecanduan berat dari total 6000 responden[3].

Maka dari itu, melakukan proteksi anak agar tidak terpapar covid 19, dan menjaga kesehatan mental anak dengan memberi perhatian ketika menggunakan handphone sangat mendesak untuk ditunaikan. Memang di masa-masa seperti ini, keluarga, orang tua, dan siapa pun yang hidup dalam satu atap dengan anak-anak harus pandai membuat aktivitas yang kreatif dan lucu guna menghilangkan rasa bosan anak-anak.

Referensi:

[1]Sonya Hellen Sinombor, "Hari Anak Nasional, Tolong Jangan Egois..." (Kompas, 15 Juli, 2020), hlm. 4

[2]------------------, Jaga Mental Anak, Jangan Sampai Depresi dan Cemas" (Kompas, 13 Juli, 2020), hlm. 5

[3]------------------, "Pornografi Ancam Anak" (Kompas, 18 Juli, 2020), hlm. 5

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun