Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menyemai Asa

30 Juni 2020   20:45 Diperbarui: 30 Juni 2020   20:54 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedari pagi ia sudah direpotkan dengan keinginan anaknya yang kekeh ingin masuk ke sekolah menengah kejuruan dengan jurusan teknik kendaraan ringan. Ia berulang kali melakukan telefon, sebut saja namanya Mbok Inah, orang yang mau diajak pergi dari satu sekolahan ke sekolahan yang lain. Permintaannya, "nanti temenin aku sama Nando pergi ke sekolah. Sepertinya kemarin unggah berkasnya ada yang salah".

Nando ini adalah anak pertama dari suaminya, Pak Jaka yang telah bercerai sekitar tiga tahun yang lalu. Nando dibesarkannya sendiri bersama adiknya, Nindi, yang semester ini telah naik kelas 5 sekolah dasar. Keduanya tumbuh sehat dan cukup riang.

Semenjak ditinggal pergi suaminya, ia mengasuh dua anaknya dari hasil kerja serabutan yang tidak seberapa. Dulu usai bercerai, ia mendapat tawaran kerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah gedong milik tetangganya yang kerap ditinggal pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis. 

Tugasnya menjaga kebersihan rumah dan sekitarnya, menyalakan dan mematikan lampu, serta ia sendiri ditawari untuk menempati rumah gedong itu. Namun ia menolaknya. Ia lebih memilih pulang setiap jam sembilan malam usai menyalakan lampu, dan kembali memulai kerja setalah rampung menunaikan shalat subuh. Begitu ia melalui hari-hari demi membesarkan kedua anaknya.

Ia juga bukan golongan orang tua yang melek teknologi dan informasi. Handphone yang dipakai hanya bisa digunakan untuk telepon dan SMS, tidak ada whatsapp, facebook, apalagi twitter. Ia mengikuti perkembangan informasi melalui televisi di saat malam sembari leyeh-leyeh.

Oleh karena itu, ia tidak pernah ikut nimbrung grup whatsapp wali murid di tempat anak-anaknya sekolah. Ia bercerita terus terang pada guru wali kelas dan kepala sekolah soal dirinya yang tidak terlalu melek teknologi, sekaligus ia meminta kalau sewaktu-waktu ada tagihan pembayaran diberitahu dengan cara telefon untuk datang ke sekolah dan diberi surat edarannya.

Tapi sebentar, meski ia tidak melek teknologi, namun ia senang membaca buku. Suatu kali ia pernah memergoki saya saat membaca Novel Orang-Orang Proyek yang ditulis Ahmad Tohari. Ia terlihat terkesan dan bertanya, "kalau sudah selesei kasih ke aku ya, nanti tak ganti duitnya berapa. Aku suka kalau baca-baca buku, asal tidak njlimet (buku-buku berjejal teori)".

Nah, pagi ini ia bersama Mbok Inah, ia pergi ke sekolah yang hendak dijadikan menggantungkan asa anak pertamanya. Beberapa berkas semenjak bercerai dengan suaminya, tidak terdokumentasikan dengan baik. 

Kartu keluarga sebagai syarat utamanya masih jadi pembaruannya. Ditambah lagi jalur daftar anaknya yang seharusnya reguler malah ke jalur afirmasi yang sebenarnya deadlinenya telah ditutup sebelum anaknya mendaftar.

Ia khawatir kalau-kalau anaknya tidak diterima sekolah. Atau tahun ini tidak mendapat sekolahnya. Katanya dengan nada putus asa, "ya sudahlah. Kalau memang ini sudah tidak bisa, Nando biar kerja aja, tidak usah sekolah."

Mbok Inah yang sejak awal sudah ragu berupaya menguasai dirinya. Pelan-pelan ia membuka suara memberi solusi dengan harapan Nando mau mencobanya. "Gini aja, kalau Nando tidak masuk ke sekolah itu, didaftarkan ke sekolah swasta aja dengan jurusan yang sama".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun