Waria, begitu orang-orang menyebutnya. Saya sendiri sering memanggilnya dengan sebutan 'om'. Karena menurut saya itu lebih pantas ketimbang sebutan yang lainnya. Toh, tidak terkesan merendahkannya juga.Â
Usianya kurang lebih sekitar 60an tahun. Awal jumpa pertama dengannya, ketika di dapur asrama ada acara masak-masak. Maklumlah, orang-orang perantauan ketika yang satu makan maka yang lain juga turut merasakan.Â
Tidak enak hati jika masak hanya untuk diri sendiri. Ia mengatakan, "kamu tidak takut sama aku. Aku ini banci lho. Tidak takut kamu?"
"Tidak, ngapain juga takut. Sama-sama manusianya", jawab saya spontan. Dari perkenalan itu, saya dengannya menjadi kenal sampai hari ini.
Ada beberapa hal yang membuat saya pribadi kagum dengannya, diantaranya ia ternyata telah menunaikan ibadah umroh dua kali ke tanah suci. Ketika saya diceritakan perjalanannya umroh dengan logat khasnya tentang kondisi Makkah dan Madinah, oleh-oleh yang dibawanya, teman-temannya satu pasukan, dan lain sebagainya, saya hanya terperangah dan menyimaknya dengan saksama. Ia sendiri menyatakan keinginannya ingin menunaikan umroh lagi untuk yang ketiga kali, jika Allah menghendaki.
Ia juga cerita selagi usianya masih belia yang kerap kali mendapat perlakuan diskriminasi oleh masyarakat sekitarnya. Bahkan sekarang pun ia masih mengalaminya, meskipun tidak separah dulu.Â
Pernah dulu suatu ketika, usai menunaikan shalat dhuhur kemudian keluar masjid, ia dicaci oleh takmir masjid. Katanya, "kamu tidak akan masuk surga, dosamu sudah banyak. Bahkan jika kamu tobat pun, belum tentu Allah menerima". Ia bercerita sambil memperagakan gaya takmir itu.
Ia tidak diam saja dan sejurus kemudian membalasnya dengan ucapan yang tidak kalah pedas. "Memangnya kamu yang jadi takmir masjid, setiap hari ngurusin masjid, bisa masuk surga? Memangnya Allah melarang orang banci untuk shalat? Justru kamu itu, takmir yang dikira orang sholeh malah ngomongnya kayak setan", ujarnya dengan wajah merah padam. Mungkin ia teringat masa itu yang tidak dihargai sebagai manusia semestinya. Â
Saya rasa memang balasan seperti itu harus diutarakan, minimal untuk menggertak si takmir agar tidak semena-mena dan merasa jumawa karena hidupnya terus berkelindan di sekitar area masjid.Â
Toh, pada dasarnya rumah Allah yang disebut masjid juga digunakan untuk menaungi seluruh ciptaan-Nya. Termasuk waria, si miskin, orang kaya, petani, konglomerat, koruptor, penjahat, pendakwah, dan hewan terkecil sekalipun juga punya hak untuk menggunakan masjid. Minimal untuk berteduh saat panas atau hujan, istirahat ketika penat, dan beribadah ketika berkehendak.
Ia juga menceritakan punya banyak kenalan gentho-gentho (sebutan preman untuk wilayah Yogyakarta dan sekitarnya). Dan ia mengatakan tidak takut bergaul dengan mereka.Â