Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sarung-sarung Santri

22 Oktober 2017   21:14 Diperbarui: 22 Oktober 2017   21:43 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini menghadirkan ulasan sedikit mengenai santri. Penulis tidak hendak menghadirkan sejarah santri, juga tidak hendak menceritakan kisah penulis ketika menjadi santri saat pondok romadhon. Namun penulis hanya ingin menulis mengenai benda yang selalu identik dengan santri yakni sarung. Tentunya tulisan ini hanya sebatas pemahaman penulis yang masih awam sekali. Oleh karena itu, tulisan ini cukup dijadikan hiburan.

Sebelum membahas mengenai sarung, terlebih dahulu kita harus mengetahui siapa itu santri?. Santri dalam KBBI didefinisikan sebagai orang yang mendalami agama islam; orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh. Kemudian ada juga sebutan santriwati dalam KBBI yang didefinisikan sebagai santri perempuan. Teringat kata-kata Gus Mus yang memberikan tausyiah pada Hari Santri Nasional 22 Oktober 2015 yang dhawuhbahwa santri bukan yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlak santri, dialah santri. Kira-kira demikianlah pemaknaan santri di abad ke 21 ini, semakin luas tapi tidak mereduksi makna dan orientasi santri

Menuurut penulis, salah satu ciri khas santri yang masih eksis sampai hari ini yakni sarung. Disorot dalam sisi sejarah, dahulu sarung diperkenalkan oleh pedagang Arab dan Gujarat pada abad ke 14. Kemudian pada masa penjajahan, sarung menjadi simbol perlawanan bagi kolonialisme. Santri menjadi golongan yang paling konsisten memakai sarung disaat golongan nasionalis dan abangan hampir meninggalkan sarung. Terbukti, ketika KH Abdul Wahab Hasbullah diundang oleh Soekarno untuk menghadiri upacara kenegaraan, beliau mengenakan jas tetapi bawahannya menggunakan sarung. 

Dilihat dari lubang sosial-budaya, sarung bisa merangkul semua elemen masyarakat, bahkan yang bukan islampun boleh melibatkan sarung dalam kehidupan kesehariannya. Di Bali misalnya, sarung yang bercorak kotak-kotak dipakai sebagai bagian dari kebudayaan Bali dan mungkin masih banyak lagi kebudayaan-kebudayaan di Indonesia yang melibatkan sarung-sarung di dalamnya. Dari sisi theologis, sarung menjadi benda yang sakral bagi umat islam, khususnya orang-orang Nahdlatul 'Ulama. Sarung menjadi pakaian yang tidak boleh absen saat peribadatan hendak dijalankan. 

Sholat, sholawatan, mengaji di madrasah, bertamu ke pemuka agama islam selalu menggunakan sarung. Sebenarnya memakai celana juga diperbolehkan, tapi "hukum kepantasan sosial" menjadikan penggunaan celana kurang sopan ketika kegiatan yang telah disebutkan dijalankan. Dari sudut ekonomis, harga sarung juga bervariasi. Mulai kisaran dari Rp 40.000,- sampai Rp 250.000,- atau bahkan lebih. Tentunya harga yang demikian sangat terjangkau bagi semua elemen masyarakat. Sehingga sarung bisa dijadikan alternatif atau bahkan pakaian wajib dalam sehari-harinya.

Kemudian yang menjadi pertanyaan mutakhir menurut penulis, apakah dengan menggunakan sarung "dalam islam", akhlak manusia sebagai santri bisa diwujudkan dalam tindakan konkret?. Penulis rasa iya. Karena hanya memakai sarung saja, manusia sudah dicap sebagai orang baik. 

Konsekuensinya, tindakan yang dilakukan juga mesti mencerminkan akhlak kesantriannya. Akhlak kesantrian yang bagaimana?, menurut penulis akhlak santri sama dengan akhlak yang diajarkan para Kyai dan Ulama yang kesemuanya bermuara pada akhlak Nabi Muhammad SAW. Salah satu akhlak Nabi yakni tasamuh. Bukti Nabi melakukan tasamuh yakni dengan adanya Piagam Madinah. Maka bisa diambil benang merah, bahwa orang yang bersarung harus mencerminkan akhlak-akhlak kesarungannya, seperti tasamuh.

Terakhir, penulis ingin menarik sarung ini dalam aspek media sosial. Di abad 21 ini, media sosial menjadi Raja manusia yang menyajikan kabar, cerita, tulisan, gambar yang cenderung samar kebenarannya. Maka, orang bersarung yang berakhlak santri hendaknya bisa meredam dan mengcounter ketidakbenaran tersebut. Alatnya apa?, alatnya yakni buku dan menulis. Caranya bagaimana?, caranya membaca. Seperti ayat yang pertama kali turun, yakni iqro'berati bacalah. Dengan begitu, fungsi sarung tidak hanya sebatas pakaian tapi juga sebagai penangkal ketidakbenaran. Demikian, semoga penulis dan pembaca yang berbudi menjadi santri-santri yang bersarung badan dan bersarung fikirannya. Waallahu'alam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun