Mohon tunggu...
Sugeng Klinsman
Sugeng Klinsman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Script Writter

Senang Menulis, dan sesekali Traveling, dan sering ngulik-ngulik barang-barang elektronik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pekerja Migrant Indonesia "Dilupakan" Pemerintah

6 Juli 2022   11:46 Diperbarui: 6 Juli 2022   11:51 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

149 Pekerja Migrant Indonesia Tewas Di Malaysia

Beberapa pekan ini, sepanjang setengah tahun 2022 ini, tercatat, 149 Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Indonesia di Malaysia meregang nyawa. Kuat dugaan terjadi Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) disana. Celakanya kejadian tersebut terus saja terjadi, tidak ada Tindakan kongrit dari Pemerintah Indonesia Untuk memberikan perlindungan Maksimal terhadap Pekerja Migran disana, nyawa seakan tiada harga bagi Pemerintah, padahal secara tak langsung, Pekerja Migran merupakan salah satu penyumbang devisa bagi Indonesia.Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, kontribusi PMI telah mencapai 7 persen dari nilai APBN atau senilai Rp 159,7 Triliun per Tahun, angka yang sangat besar, jadi sangat wajar jika Pekerja Migran Indonesia dianggap sebagai pahalawan devisa negara.

Besarnya devisa yang dihisap negara dari Pekerja Migran sangat bertolak belakang dengan kenyamanan dan keamanan mereka selama bekerja diluar, pemerintah terkesan setengah hati mengurusi perlindungan Pekerja Migran. 

Pemerintah Indonesia menjadi acuh jikalau Pekerja Migran tersebut diduga merupakan pekerja nonprocedural, padahal jelas setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pelrindungan yang sama tanpa memandang suku ras, dan asal usul, seperti yang dituangkan dalam UUD 45 Pasal 27 ayat 1 Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal7 Semua orang adalah sama di hadapan UU dan berhak atas perlindungan hukum yang sama dengan tak ada perbedaan.

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 : "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum." Dan Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindunganhukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi
Dari tahun ketahun kekerasan terhdap pekerjan migran mengaami kenaikan, 2019 -2020 terjadi 700 kasus pekerja Migran "Pulang" ke Indonesia dalam kondisi Meninggal, 460 kasus dalam sakit serta cacat permanen. Menukil data Kemenpppa, 90 % pekerja migran yang mengalami kekerasan dan diskriminasi adalah Perempuan.

Saat ini Indonesia Merupakan Pemilik Perkebunan terbesar di Dunia, dengan jumlah produksi juga terbesar, dan saat ini Perusahaan-perusahaan Perkebunan Indonesia sudah mendapatkan licensi "Green" yang artinya perusahan-perusahaan tersebut telah melakukan upaya lebih dari memenuhi ketentuan peraturan dalam pengelolaan lingkungan. Celakanya Lembaga sertifikasi negara yakni PROPER  sepanjang 2017 telah menilai 1.819 perusahaan. Hasilnya, 92% perusahaan taat terhadap peraturan tentang pengelolaan lingkungan.

Apa yang dirasakan Pekerja Migran, juga dirasakan pekerja di Indonesia, Khususnya Buruh Perkebunan Sawit. Buruh seakan menjadi senjata pamungkas bagi Perusahaan Sawit agar produksi terus berjalan, tuntutan dari pengimpor sawit dan turunannya agar perkebunan sawit memperhatikan nasib buruh mereka menjadi "Jualan" ampuh bagi perkebunan sawit meski tidak sesuai faktanya.

Beberapa data menyebutkan terdapat 7,6 juta buruh perempuan bekerja diperkebunan sawit. Dalam catatan Kementrian Pemberdayaan Perempuan menyebutkan banyak terjadi kekerasan yang dialami Buruh Perempuan diperkebunan sawit.

Selain kekerasan seksual yang dirasakan buruh perempuan, dampak lanjutan yang diakibatkan penggunaan pestisida berkepanjangan, secara tidak langsung mengerogoti Kesehatan pekerja dan berakibat kematian. Kematian akibat keracunan ini seakan tenggelam begitu saja, karena tidak bisa dibuktikan secara klinis dan ketidakmampuan pekerjan untuk menekan perusahaan.

Kebebasan berpendapat di perkebunan sawit juga di "Penjara" perusahaan seakan jengah keberadaan kritikan yang ditujukan kepada perusahaan. Akibatnya beberapa pekerja dikriminalisasi, mulai dari ancaman hingga dipenjarakan.

Gabungan Pengusasaha Perkebunan Indonesia (GAPKI) mengakui ekspor olahan CPO Indonesia mengalami kenaikan, tahun 2021 meningkat 21,8% menjadi 25,7 juta Ton, jika di banding denga 2020 hanya 21,1 juta Ton. Ditambah lagi harga CPO internasional kini naik, sehingga akan meningkatkan pendapatan perusahan ya terutama pemiiki perusahan. Kenaikkan eksport olahan buah sawit tentunya akan naik kekayaan pemilik perusahan. Namun jikalah benar sawit menciptakan lapangan pekerjaan yang mensejahteraankan kaum buruhnya maka buruh tidak akan keluar negeri untuk berkerja di sector-sector yang pertanian dan perkebunan seperti sawit. Malaysia pernah meminta untuk di kirimkan 32 ribu lebih buruh yang bekerja di perkebunan sawit. Hal tersebut belum dapat di lakukan oleh pemeritah karena belum tuntasnya MOU perlindungan buruh,yang mana MOU tersebut telah berakhir sejak 2016.


Solusinya Apa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun