Mohon tunggu...
Sufi Insani Sholihah
Sufi Insani Sholihah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Mahsiswa UAD Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kondisi Mental Anak Akibat Pandemi

27 Juli 2021   21:27 Diperbarui: 27 Juli 2021   21:48 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pandemi covid-19 telah mengubah semuanya tak terkecuali dalam dunia pendidikan. Sudah dua tahun pandemi ini membuat para siswa melakukan pembelajarannya di rumah. Pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru (teacher centered) ataupun juga berpusat pada peserta didik (student center), melainkan berpusat pada anak (child centered). Mengapa begitu? karena gurunya adalah orang tuanya di rumah secara penuh untuk bisa memfasilitasi anaknya untuk bermain sambil belajar. Tidak lagi guru kelas yang memberikan kendali proses belajarnya di sekolah. Guru kelas hanya bisa memantau perkembangan, memfasilitasi project, mereview dan  mengevaluasi proses belajar anak selama "di rumah saja" melalui media elektronik.

Perubahan kondisi pembelajaran saat ini merupakan sebuah tantangan bagi kita para orangtua untuk memantau dan mendampingi sesuai kebutuhan anak. Dalam kondisi ini, pengetahuan luas tidak menjamin untuk memfasilitasi anak namun diperlukan keahlian serta kesabaran dalam menyampaikan pesan pembelajaran bagi si anak. Jika tidak demikian, maka keinginan anak untuk belajar "di rumah saja" akan berubah menjadi kebosanan dan memunculkan tantangan baru bagi anak. Peran keluarga dalam kondisi pandemi dan pembelajaran jarak jauh  sangat berpengaruh. Dalam kondisi seperti saat ini, keluarga sebagai pengontrol dan fasilitator anak. Sebenarnya sebelum kondisi daring pun keluarga tetap menjadi pendidik pertama bagi anak. Orangtua harus mengontrol dan memberi dukungan penuh agar anak tetap enjoy dengan pembelajaran yang baru ini. Dalam kondisi saat ini, pembelajaran pun kurang maksimal, peran yang dapat dilakukan keluarga adalah membimbing dan mendampingi pembelajaran anaknya. Pada sistem pembelajaran jarak jauh ini orangtua mau tidak mau bertindak sebagai pengganti guru di sekolah anak mereka, maka orangtua harus serba bisa untuk nemberikan pengajaran terbaik untuk anak mereka, seperti menjadikan suasana belajar menjadi lebih asyik dan tidak membosankan karena belajar di rumah.

Namun, program yang sudah berlangsung selama dua tahun ini mempunyai pengaruh buruk bagi kesehatan mental anak yang berpotensi menimbulkan gangguan  mental. Contoh kecil yang ada di lingkungan saya, ketika saya mewawancarai beberapa siswa sekolah dasar. 10 anak yang saya wawancarai mengatakan bahwa mereka sangat bosan dengan sistem pembelajaran jarak jauh, mereka merasa kesepian tidak bisa bertemu dengan teman-temannya, dan apabila ada mata pelajaran yang sulit mereka tidak mengerti dan orangtua mereka pun tidak dapat menjelaskan.

Para peneliti di Provinsi Hubei, melakukan sebuah penelitian dengan mengambil kelompok sampel yang terdiri dari 2.330 anak sekolah untuk mengetahui keadaan emosional mereka selama pandemi. Hasilnya mengatakan bahwa 22,6% dari anak sekolah tersebut mengalami gejala depresi dan 18,9% mengalami gangguan kecemasan. Apa yang menyebabkan anak mengalami gangguan depresi dan kecemasan?

Alasannya sama seperti yang saya katakan diatas yaitu kesepian karna tidak mempunyai teman dan orangtua yang tidak dapat sepenuhnya menemani dan mengontrol anak karena bekerja. Selain itu, tidak semua anak dipenjuru negeri mempunyai fasilitas pendukung pembelajaran seperti laptop, gadget, hingga ketersediaan sinyal. Hal tersebut dapat menimbulkan kecemasan diri dan ketidakyakinan pada anak untuk dapat memahami pelajaran dengan mudah.

Tanda-tanda anak ketika mengalami gangguan mental, seperti: lebih banyak diam dan termenung, emosi yang tidak terkontrol, kehilangan semangat, nafsu makan yang hilang, pola tidur yang tidak teratur, menarik diri dari kegiatan, dan masih banyak lagi.

Lalu bagaimana menjaga agar mental anak tetap sehat?

Keluarga mempunyai peran terpenting dalam hal ini, ada beberapa cara yang dapat kita lakukan, seperti:

  • Menjaga mood anak seperti; ajak anak untuk bermain dan perhatikan pola makan dan tidur anak.
  • Mengajak anak berbicara mengenai kesehariannya.
  • Mengajak anak untuk melakukan kegiatan positif, seperti : memasak, berkebun, membersihkan rumah, atau sekedar membaca buku cerita.
  • Mengurangi menonton atau membaca berita mengenai COVID-19 dari media agar anak tidak mudah cemas. Hal ini perlu dilakukan karena anak belum bisa menyaring berita yang mengakibatkan kecemasan. 
  • Mendampingi dan memantau tugas sekolah anak.
  • Berikan perhatian setiap harinya, berikan pelukan hangat kepada anak agar anak merasa dirinya berharga dan disayangi. Dengan pelukan, anak akan merasa lebih tenang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun