Mohon tunggu...
Suer@nywhere
Suer@nywhere Mohon Tunggu... Konsultan - Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sang LSM

1 April 2016   14:45 Diperbarui: 26 April 2016   10:37 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi orang yang bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat, naik pesawat di kelas bisnis tergolong langka. Bahkan setelah bekerja di organisasi PBB pun, saya tidak punya hak untuk duduk di kelas bisnis. Bukannya tabu atau tak mampu, tapi malu hati untuk menganggarkannya. Toh penumpang yang duduk di kelas bisnis dan ekonomi akan tiba di tempat tujuan yang sama, pada waktu yang sama. Paling penumpang bisnis boleh turun dari pesawat lebih dulu.

Namun ketika Tuhan sudah berkehendak, maka tak ada pilot atau pramugari yang sanggup menghalangi kita untuk mencicipi kelas bisnis. Banyak hal dapat terjadi dengan cara Tuhan yang tidak kita duga sebagai bantuan Tuhan kepada hambaNya. Termasuk menempatkan saya di kelas bisnis Merpati Airlines dalam penerbangan dari Jayapura ke Jakarta via Makassar.

Kok Merpati? Sabar kawan,….tempus delictinya lima belas tahun lalu. Trayek Jakarta-Jayapura hanya dilayani oleh Garuda dan adiknya si Merpati yang hari terbangnya bergantian.

Hanya ada enam orang yang menghuni kelas bisnis, sementara di kelas ekonomi penuh sesak. Perbedaan yang mencolok hanyalah ukuran tempat duduk yang lebih besar, lebih empuk, dan ruang kaki lebih lega plus alat makan yang bebas plastik. Di deretan kursi paling belakang kelas ekonomi, biasanya dialokasikan bagi para ahli hisap. Ingat, saat itu masih banyak armada yang memanjakan para perokok. Sekarang? Don’t even think about it.

Di atas lautan antara Biak dan Maluku, ada desakan yang mengharuskan saya ke toilet. Letak toilet di bagian depan, antara pintu pilot dan lorong “dapur pramugari”. Ah, ternyata toiletnya sama dengan yang di kelas ekonomi. Kirain ada shower dan bak mandinya.

Ketika keluar dari toilet, mata saya langsung terpaku pada seorang bapak yang berdiri di lorong dapur pramugari. Tinggi besar, gagah, kulit sawo matang banget, berkumis tebal, rambut kriting pendek, berkemeja, dan celana jins. Perlente lah. Ia asyik ngobrol dengan pramugari. Penumpang lain tak dapat melihat adegan ini karena adanya tirai yang menghalangi antara kabin dan lorong dapur.

Yang membuat saya keqi adalah benda yang terjepit antara telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Sebatang rokok yang menyala. Eh buset…kontan saya bertanya,”Lho pak, emang boleh ngerokok ya?”

Hening sejenak. Pandangan saya berpindah-pindah dari si bapak dan pramugari.

“Nggak apa-apa lah. Kan cuma sebentar,” jawab si bapak. Pramugari tetap diam lalu menjauh.

“Lho kalau bapak boleh, saya juga ikutan lah”.

“Yaudah, sini temenin saya”. Senyumnya merekah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun