Mohon tunggu...
Suer@nywhere
Suer@nywhere Mohon Tunggu... Konsultan - Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Eyang Cipok

9 Agustus 2018   15:39 Diperbarui: 16 Agustus 2018   12:39 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Eyang Cipok itu hanya nama yang kami sekeluarga menyebutnya. Nama itu bermula dari kebiasaannya mencium semua orang yang ditemuinya. Bukan sembarang cium. Setiap berjumpa atau berpisah, ia akan pegang kepala kita, lalu menyorongkan mulutnya yang sudah mengerucut ke pipi kiri, pipi kanan, dan kening. Setelah itu kita akan merasa dingin-dingin basah di pipi dan kening. Itulah cairan dari mulutnya yang keluar saat mencium. Stempel basah...

Tidak peduli tua-muda, besar-kecil, laki-perempuan, kalem-brangasan, semua dapat jatah. Kami "terpaksa" menerimanya ketika terlambat menghindarinya. Pernah saya coba buru-buru menyalami dan mencium tangannya agar terhindar dari ciumannya. Ternyata dia sangat sigap. Saat satu tangannya dicium, tangan kirinya menarik kepala saya, dan cprot...cprot...cprottt... Basah sodara-sodara.

Tingginya Eyang Cipok tidak lebih dari 150 cm, rambutnya yang 90% memutih digelung sanggul warna hitam. Selalu berkebaya khas jawa dengan kain melibat pinggangnya. Dia lupa umurnya berapa, tapi secara fisik kita duga sekitar 70an. Sisa-sisa kecantikannya masih tampak dari pipinya yang kuning langsat tanpa plek-plek hitam. Tulang pipinya menonjol sempurna dengan sedikit kerutan sewajarnya. Gigi depannya utuh berbaris rapi, tetapi saya tidak sempat bertanya apalagi melongok bagian gigi grahamnya.

Mungkin hanya ibu kami yang ingat nama aslinya. Ibu pernah mengisahkan silsilahnya, "sebenarnya yang bersaudara dengan keluarga kita itu suaminya yang sudah lama meninggal". Saya kesulitan membayangkan posisinya dalam keluarga. Kalau nggak salah, suaminya Eyang Cipok adalah sepupu dari keponakan istrinya kakaknya eyang putri.Tapi Eyang Cipok selalu menganggap kita semua cucu-cicitnya yang berhak dicium.

Hobi primernya bercerita. Tentang apa saja, semaunya dan seingatnya. Dia bisa tiba-tiba menceritakan kelakuan mba anu atau om itu, yang namanya saja baru kali itu kita dengar. Ingatan masa lalunya kita anggap masih kuat karena memang tidak ada yang mampu menyanggah apalagi memverifikasi kebenarannya.

"ya iyalah...dia bohong aja kita percaya kok, apalagi dia ngomong bener," pikir saya. Lagipula, sekali kita mempertanyakan, maka kisahnya akan semakin memanjang, melebar, dan bersambung-sambung kayak drama korea.

Nonton televisi menjadi hobi sekundernya. Kalau sudah di depan tivi, apalagi filem kartun seperti Teletabis, maka menyingkirlah semua dari ruang keluarga. Sofa di depan tivi menjadi teritorinya untuk duduk, tiduran, dan slonjoran. Hanya hasrat pipis yang membuatnya meninggalkan tahta sofa.

Makan segala macam makanan adalah hobi tersiernya. Banyak jenis makanan yang biasanya dihindari oleh orang seusianya, dia sikat tanpa diskriminasi. Durian bisa dia emut-emut lama di mulutnya. Jeroan, ati-ampela, usus, jengkol, pete, dia kunyah seperti makan permen karet. Kopi dia sruput, minuman soda dia tenggak.

"nggak takut sakit Yang," tanyaku iseng.

"takut apa, lha wong makanan ya buat di makan tho," begitu jawabnya. "makanan itu obat paling manjur buat badan, bla..bla..bla". Nah, pertanyaannya satu, jawabannya seperti menjawab soal essay saat ujian sekolah.

Ajaib memang. Hasratnya untuk bepergian sangat kuat, walau jalannya terseok-seok. Minggu lalu di Malang, minggu ini di Semarang, minggu depan dia ingin ke Jakarta. Di mana-mana ada temannya, saudaranya, atau siapapun yang dianggap keluarganya. Terkadang kita yang dikunjunginya merasa tidak enak, harus menyiapkan ini dan itu, melayani ini dan itu sebagai bentuk hormat terhadap saudara tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun