Mohon tunggu...
Hts. S.
Hts. S. Mohon Tunggu... karyawan swasta -

"Tak bisa peluk ayahmu? Peluk saja anakmu!" Hts S., kompasianer abal-abal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ulos Batak Ragidup, Simbol Pengharapan

8 September 2015   13:23 Diperbarui: 8 September 2015   13:42 2373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ulos BatakRagidup”, Simbol Pengharapan

Tentang Pengharapan

Jangan sampai putus harapan, dalam bahasa Batak disebut mandele. Orang yang mandele sudah tak mau lagi berusaha, menyerah, martungkol isang – topang dagu. Esktrimnya orang yang putus pengharapannya, bisa melakukan tindakan maningkot – bunuh diri. Karena itu, tetaplah berpengharapan.

Dalam tradisi Batak, salah satu karya budaya yang sering diperlihatkan ke hadapan umum adalah ulos. Acara-acara bertema Batak, biasanya dilengkapi dengan kehadiran ulos. Sebagai generasi muda, saya biasanya melihat ulos sebagai hiasan belaka, ornamen atau dekorasi sebuah perayaan. Sedangkan makna yang terkandung di dalam karya budaya Batak tersebut tidak terlalu saya pikirkan.

Sikap demikian itu tentu bukan hanya ada pada diri saya, sebagian besar pemuda, baik yang lahir dan besar di kampung, maupun yang lahir dan besar di parserahan – perantauan, kurang lebih memiliki sikap yang sama tentang budaya Batak. Banyaknya perhelatan adat pernikahan di Jabodetabek yang menghadirkan ulos tidak serta merta memberikan pengetahuan yang cukup bagi pemuda seperti saya. Saya tidak hafal jenis-jenis kain tenun Batak tersebut.

Etimologi “Ulos”

Kucoba dulu menggunakan istilah etimologi ini. Baru pertama kali ini pun kucoba menggunakannya, setelah mengikuti bermacam tulisan di Kompasiana, lalu memastikannya di Wikipedia dan kbbi.web.id dan beberapa tautan dari mbah google. Semoga tidak salah saja, kalau salah nanti mirip orang yang banyak istilah dan malah membuat tak jelas apa yang dibicarakan.

Menurut T.M. Sihombing (1986/2000) dalam bukunya Filsafat Batak – Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat, kata ulos itu berasal dari kata “las”. “Las” dalam bahasa Batak artinya hangat (warm). Orang Batak hidup di dataran tinggi dengan suhu udara yang sangat dingin. Di kampungku Siborongborong misalnya, minyak sayur (minyak goreng) selalu membeku karena suhu dingin. Kopi panas tak perlu menunggu lama untuk bisa diminum karena dia cepat dingin. Suhunya mirip suhu di lemari es (kulkas). Lebih lanjut, menurut TM Sihombing, orang Batak sangat memperhatikan masalah kehangatan ini. Maka bisa disaksikan kampung-kampung yang dikelilingi oleh tembok tanah dan susunan batu yang ditanami bulu soratan dan bulu godang (bambu). Selain sebagai benteng pertahanan, bambu tersebut dimaksudkan untuk menahan hembusan angin, sehingga penghuninya nyaman dalam kehangatan. Hal demikian itu tercermin dalam sebuah sajak Batak: sinuan bulu sibahen na las (bambu ditanam sekeliling kampung untuk menjaga kehangatan).

 

Jadi ulos itu adalah kain tenun yang dimaksudkan memberikan rasa hangat bagi si penerimanya. Hangat tubuhnya, hangat pula dengan tondi – roh jiwanya (mangulosi daging, mangulosi tondi). Pemberian ulos selalu disertai dengan umpasa – syair doa dan harapan dari yang memberi kepada penerima ulos.

Siapa yang Berhak Mangulosi (Memberi Ulos)?

Ulos merupakan kain selendang tenun dengan motif tertentu. Jika anda ingin mengoleksinya, sekarang mudah didapat dengan cara membelinya di Pasar Senen bagi yang tinggal di Jabodetabek. Ulos yang dibeli seperti itu belum memiliki makna khusus bagi pemiliknya, tak lebih dari benda seni berbentuk selendang.

Ulos akan menjadi bermakna ketika kain tenun Batak tersebut diberikan dalam sebuah upacara adat, baik kecil maupun besar. Melalui upacara adat itulah ulos diberikan secara resmi dengan pengantar umpasa (syair/pantun doa), sehingga ulos menjadi bermakna bagi yang menerima karena sudah turut serta dalam doa dari yang memberikan.

Memberi dan menerima ulos mengikuti aturan tertentu berlandaskan hukum adat Batak “Dalihan na Tolu”. Semua sistem hukum masyarakat Batak mengacu kepada dasar ini. Tentang ulos, yang pantas memberikannya adalah dari pihak yang lebih tua kedudukannya dalam struktur Dalihan na Tolu yaitu disebut “Hula-hula”. Hula-hula adalah marga asal dari istri, ibu, nenek, neneknya bapak dan seterusnya ke atas dalam pohon silsilah. Mereka berada pada posisi yang harus dihormati, dan mereka siap memberikan doa pasu-pasu (doa berkat) bagi kita. Lebih lanjut tentang Dalihan na Tolu (hubungan affina Dongan Tubu, Hula-hula, Boru) dapat dibaca dalam tulisan . J.C. Vergouwen (1986) Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Tema Dalihan na Tolu termasuk rumit untuk dijelaskan, kalau mau jadi insider saja, menikahlah dengan orang Batak agar lebih mudah memahaminya.

Ulos sebagai simbol kasih sayang, maka kasih sayang itu didapatkan dari orang tua (yang lebih tua), dalam hal ini adalah hula-hula memberikan kasih sayang kepada boru. Dalam bahasa Batak disebut:

Natoras na tutu manghaholongi ianakhonna,

Ianakhon na tutu pasangap natorasna

Artinya: orang tua mengasihi anak-anaknya, anak-anaknya menghormati orang tuanya.

Maka memberi dan menerima ulos merupakan kegiatan reciprocity yang menunjukkan kasih sayang dan penghormatan. Penghormatan dari boru diberikan dalam simbol piso-piso (sejumlah uang yang bergantung kepada kemampuan) agar hula-hula menjadi bersuka cita pula.

Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa ulos diberikan pada saat khusus saja. Ulos yang diberikan pun tidak boleh sembarang ulos. Bukan hanya jenisnya yang harus diperhatikan, tetapi juga kualitas buatannya. Ulos yang dipilih biasanya disebut ulos sinagok artinya ulos yang tenunan, motif dan warnanya sempurna. Hanya penenun yang sudah mahir dapat menghasilkan ulos berkualitas sinagok ini (Sihombing TM, 2000).  Selanjutnya saya akan membahas salah satu jenis ulos Batak yaitu Ragidup.

Ragidup, Ulos Lambang Pengharapan

Kain ulos itu bermacam-macam jenisnya, ditandai dengan motif dan warna kaleur yang berbeda-beda pula. Makna dan penggunaanya berbeda-beda. Jenis-jenis ulos dari Batak Toba diantaranya: ragidup, ragihotang, dan sibolang. Simalungun, Mandailing, Karo, dan Pakpak juga memiliki jenis ulos masing-masing, dengan keragamannya (tentang macam-macam ulos dapat juga dibaca dalam buku “Warisan Leluhur Batak yang Terancam Punah” karya Siahaan Bisuk, 2015).

Raksa (sifat, keadaan, dan fungsi) ulos paling tinggi derajatnya dalam tradisi Batak Toba adalah ulos Ragidup. Raksa-nya sebagaimana diterangkan Sihombing TM (1986/2000) adalah sebagai berikut:

Menenun ulos Ragidup itu sangat sulit. Ulos itu terdiri dari 3 bagian, yaitu 2 bagian sisi dan sebuah bagian tengah. Kedua bagian sisi itu ditenun sekaligus. Bagian tengah ditenun sendirian dengan cara yang sulit dan berbelit-belit. Bagian tengah itu terdiri dari tiga bagian, yaitu satu bagian tengah yang dinamai “badan” dan dua buah bagian “ujung”. Bagian ujung menjadi tempat pigura laki-laki (istilah Batak “pinarhalak baoa”) dan bagian ujung yang satu lagi menjadi tempat pigura perempuan (istilah Batak “pinarhalak boruboru”). Pigura laki-laki dan pigura perempuan itu disertai lagi oleh beraneka ragam lukisan lain. Diantaranya ada yang bernama “antinganting”, “sigumang”, “batu ni ansimun”, dan lain-lain lagi.

Kalau Ragidup itu dipandang dengan cermat dan dengan penuh perhatian, maka warna, rupa lukisan serta “ragi-nya” (coraknya) yang kesemuanya sangat mengesankan itu, benar-benar nampak “hidup”. Itulah sebabnya ulos itu diberi nama “Ragidup” (ragi hidup) dan dibuat menjadi simbol hidup (penghidupan).

 [caption caption="tribaltextiles.info"][/caption]

Ulos Ragidup menjadi perlambang betapa perlunya untuk tetap hidup. Oleh karenanya, hidup boleh saja susah, miskin dan menderita, tetapi tidak boleh menyerah, harus tetap dalam pengharapan untuk mencapai kebahagiaan hidup. Sihombing TM (1986/2000) kemudian mengutip falsafah Batak tentang pengharapan dalam hidup:

Agia pe lapalapa asal di toru ni sobuon, agia pe malapalap asal ma di hangoluon

Ai sai na boi do jolma partalaga muba gabe parjuluon

Artinya:

Hidup sekarang bisa saja penuh penderitaan, bertahanlah dan berpengharapanlah. Sebab kehidupan bisa berubah, dari penderitaan menjadi kebahagiaan.

Ulos Ragidup diberikan juga sebagai simbol doa restu, pengharapan agar si penerima memperoleh kebahagiaan dalam kehidupannya terutama gabe (berketurunan banyak) dan saur sarimatua (berumur panjang). Ulos Ragidup diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada orang tua pengantin laki-laki sebagai ulos pargomgom perlambang harapan agar orang tua itu dengan pertolongan Tuhan dapat mempertahankan hidup (melindungi) menantunya. Ulos Ragidup juga diberikan oleh orang tua kepada putrinya yang sedang mengandung anak pertama sebagai ulos tondi, dengan maksud agar putrid dan bayi yang dikandung mendapat pertolongan Tuhan.

Kondisi Sekarang: Masuknya Pragmatisme Kapitalis

Pragmatisme ala kapitalisme sudah merasuki kehidupan kita. Sebagian besar orang Batak memang masih berhasil mempertahankan warisan leluhur berupa adat istiadat yang baik itu. Tapi ada hal-hal yang kelihatannya sepele, yang perlu dipikirkan lebih dalam bagaimana generasi sekarang memaknai ulos.

Ada orang yang menganggap ulos tidak praktis lagi, menumpuk di rumah pengantin (misalnya) tetapi tidak bisa segera dimanfaatkan secara ekonomi (dalam arti uang). Sebab itu dengan maksud lebih praktis dan ekonomis, ada juga yang memberikan uang kepada pengantin sebagai pengganti ulos. Tentu dapat dipahami maksud baik dari orang tersebut.

Tapi tujuan dari ulos ternyata bukanlah pertukaran materi selayaknya pada pertukaran pasar (market exchange). Motivasinya bukanlah motivasi pertukaran pasar. Memberi dan menerima dalam adat istiadat adalah pertukaran (reciprocity) untuk tujuan hubungan sosial (adjudicating economic claims and social relations) yang semangatnya sangat berbeda dengan semangat ekonomi pasar.

Saatnya kita merenungkan kembali, apakah kita akan meneruskan, mempertahankan sisa-sisa yang tak banyak lagi dari tradisi leluhur dengan makna-makna yang ada di dalamnya, atau kita bergerak ke arah pragmatisme kapitalis.

 

---

Horas…

 

Bacaan:

Sihombing TM, 2000. Filsafat Batak, Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat, Balai Pustaka, Jakarta

Siahaan, Bisuk, 2015. Warisan Leluhur Batak yang Terancam Punah, Jakarta

Vergouwen JC, 1986. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, LKiS, Yogyakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun