Mohon tunggu...
Suciliani Octavia
Suciliani Octavia Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC)

Check and balances is a must in democracy era

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sekali Lagi, Soal Dinasti Politik

4 Maret 2021   14:50 Diperbarui: 4 Maret 2021   15:01 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kontestasi Pilkada yang digelar serentak pada Desember 2020 lalu, diikuti oleh calon kepala daerah berusia muda. Selain diselenggarakan di saat pandemi Covid-19, kehadiran anak muda dalam ajang pilkada kali ini menjadi sangat menarik dibandingkan Pilkada beberapa tahun sebelumnya.
 
Setidaknya terdapat 35 kepala daerah terpilih yang berusia dibawah 45 tahun dari 178 kepala daerah yang terpilih. Artinya sebanyak 19,7 persen dari 270 daerah yang melaksanakan Pilkada 2020 dipimpin oleh kepala daerah milenial. Seperti, Surakarta, Medan, Kendal, Trenggalek, Kediri, Ogan Ilir, Gowa dan daerah lain.

Kehadiran para pemimpin muda di lingkungan pemerintahan ini diharapkan mampu memberikan solusi melalui inovasi-inovasi baru untuk memajukan masing-masing daerah yang dipimpinnya.

Namun, nampaknya harapan ini bisa menjadi semu jika pemimpin muda yang duduk di pemerintahan hanya semata mengandalkan dukungan atau koneksi keluarga yang kebetulan tengah memiliki akses di kekuasaan.

Betul bahwa dinasti politik atau politik kekerabatan tidak menyalahi aturan yang ada. Dalam demokrasi setiap orang memiliki kesetaraan yang sama untuk ikut dipilih dan memilih. Demokrasi yang sehat juga mensyaratkan rekrutmen kepemimpinan harus dilakukan terbuka dan kompetisi politik dilakukan berdasarkan merit system, yakni berbasis kapasitas serta integritas. Sementara, sulit dibantah, dinasti politik sebaliknya berpotensi menutup kompetisi dan kontestasi yang sehat dan terbuka tersebut.

Selain itu, sejujurnya, fenomena dinasti politik mengakibatkan apatisme warga yang akibatnya mobilisasi politik kerapkali harus digerakkan dengan politik uang. Praktik demokrasi melalui pelaksanaan pilkada menjadi aktivitas selebrasi yang mahal dan formalitas. Demokrasi seolah hanya menjadi panggung elit semata.

Persoalan politik dinasti apalagi jika ditambah dengan problem korupsi yang terjadi di pemerintahan maka situasinya akan menjadi semakin runyam. Terlebih jika posisi di pemerintahan rawan ditunggangi kepentingan bisnis keluarga dan oligarki. Maka, 'check and balance' terhadap pemerintah semakin sulit diwujudkan oleh rakyat di daerah. Demokrasi hanya berjalan pura-pura.

Problemnya memang di partai politik. Sejauh mana partai politik secara konsisten membangun dan menjalankan institusi dan prinsip demokrasi yang sehat. Antara lain dengan melakukan rekrutmen, kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan politik yang baik.


Dalam kasus pilkada, pencalonan kandidat oleh partai tidak bisa hanya berdasarkan keinginan elit partai. Prosesnya harus melalui mekanisme demokratis yang mempertimbangkan kapabilitas, kemampuan, pengalaman dan integritas calon, baru kemudian aspek elektabilitas.

Beberapa tahun lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus pasal anti dinasti politik yang sudah tercantum dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Hal ini dikarenakan pasal tersebut dianggap bertentangan dengan konstitusi dan UUD 1995 untuk dipilih dalam politik. Adapun sebenarnya pasal tersebut dapat menjadi penghalang suburnya dinasti politik yang semakin merambah kuat.

Oleh karenanya, pemimpin muda terpilih saat ini harus mampu menunjukkan kemampuannya untuk memajukan daerah. Jika telah terpilih dalam pilkada dan telah dilantik antara lain karena - diakui atau tidak - mendapat pengaruh atau akses kekerabatan dari penguasa maka mereka harus mampu menunjukkan kesungguhan, kemampuan dan komitmen untuk bekerja secara baik dalam melayani serta mensejahterakan rakyat, jujur, tidak korupsi, tidak menyalahgunakan jabatan, dan berorientasi pada kemaslahatan dan penguatan demokrasi.

Kesempatan anak muda dalam memimpin daerah adalah momentum terbaik dalam demokrasi Indonesia di era milenial ini. Jangan disia-siakan mandat mulia dan kesempatan emas tersebut. Tunjukkan pada rakyat, pada bangsa dan negara, bahwa anak muda juga bisa membuat prestasi membanggakan memimpin negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun