Murid Bukan Sekadar Anak Didik: Menganalisis Kebutuhan Dasar untuk Penanganan Seintensif Anak Sendiri
Sosial media akhir-akhir ini banyak menyoroti upaya yang dilakukan untuk anak bermasalah yakni mengirim murid ke barak sebagai salah cara untuk mengatasi kenakalan anak di sekolah. Cara tersebut mengundang reaksi yang beragam. Ada yang memuji cara tersebut dan ada pula yang menentang. Terlepas pro dan kontra namun tujuan tetap sama ingin memberikan kesadaran kepada murid atas perilakunya yang menyimpan sehingga dapat kembali ke karakter mulia.
Yang menjadi PR terbesar bagi dunia pendidikan adalah adab atau karakter. Penurunan karakter terkadang banyak faktor yang memicunya sehingga tak bisa menyalahkan salah satu pihak sehingga perlu dicari akar permasalahan agar tepat dalam penanganan. Dari penurunan karakter atau perilaku ternyata murid dapat menunjukkan melalui perilaku yang mengundang reaksi dan label yang kurang baik bagi sekitarnya. Padahal sejatinya murid tersebut membutuhkan perhatian yang belum didapatkan dari orang sekitarnya.
Untuk itu, wajarlah terkadang ada asumsi bahwa sekolah sebagai rumah kedua murid dan guru sebagai aktor orang tua kedua setelah orang tuanya di rumah. Namun, dalam praktiknya, tidak semua pendekatan pendidikan mencerminkan kedalaman relasi dan kepeduliaan seperti itu. Banyak murid di sekolah datang ke sekolah tidaklah memiliki fokus utama belajar tapi mereka membawa masalah/beban psikis, luka emosional, dan kebutuhan dasar yang belum dipenuhi.
Beban psikis itulah terkadang murid luapkan untuk melakukan hal-hal yang mengundang reaksi sekitarnya tak menyukainya. Cara tersebut dipandang agar orang sekitarnya peka dan empati untuk memberikan perhatian. Hanya saja bentuk mencari perhatian banyak dianggap sesuatu yang kurang baik sehingga label sebagai anak nakal menjadi pertanda anak tersebut. Belum masalah psikisnya belum ada solusi tumbuh masalah baru akibat tingkahnya yang unik.
Untuk itu, menanggapi persoalan tersebut mengentuk panggilan jiwa kita sebagai guru yang tidak hanya mengajar menyampaikan materi pelajaran tapi perlu memahami murid sebagai individu utuh yang memerlukan pengasuhan, perhatian, dan bimbingan secara intensif. Dengan begitu, pertolongan guru memberikan harapan bagi murid untuk memandang masa depan melepas segala persoalan yang menurutnya sangat berat dipikulnya seorang diri.Â
Memahami Kebutuhan Dasar Murid: Bukan Hanya Soal Akademik
Terkadang masih ada anggapan bahwa keberhasilan pendidikan diukur dari pencapaian akademik seperti nilai ujian, peringkat kelas, dan kelulusan. Padahal itu itu baru beberapa indikator yang tak bisa dianggap mutlak sehingga memerlukan indikator yang tak sempit tanpa mengabaikan aspek-aspek mendasar yang justru menentukan keberhasilan belajar secara menyeluruh. Selain itu, murid bukan seorang pencetak nilai, tapi individu yang utuh dengan kebutuhan fisik, emosional, sosial, dan psikis yang patut mendapat perhatian.
Belajar dari pendapat yang dikembangkan oleh Abraham Maslow memberikan kerangka yang relevan dengan konteks pendidikan. Menurut beliau bahwa manuisa mempunyai 5 tingkatan kebutuhan yang saling berhubungan seperti kebutuhan fisiologis, rasa aman, kasih sayang dan rasa memiliki, penghargaan. Serta aktualisasi. Jika kelima kebutuhan dasar tersebut tidak terpenuhi anak akan cenderung melakukan sensasi untuk menarik perhatian orang lain memperhatikan. Selain itu, apabila guru peka dan empati pada murid yang kurang memperoleh 5 kebutuhan dasar dan ditangani dengan tepat maka anak tersebut dapat kembali seperti anak yang telah mendapatkan 5 kebutuhan dasar.
Lalu apa saja sih 5 kebutuhan dasar yang selama ini menjadi permasalahan dan sekaligus memicu murid cenderung melakukan sesuatu yang menarik perhatian semua orang di sekitarnya