Mohon tunggu...
Suciati Lia
Suciati Lia Mohon Tunggu... Guru

Belajar mengungkapkan sebuah kata agar bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kado dari Langit

22 Maret 2025   10:12 Diperbarui: 22 Maret 2025   10:12 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kado dari Langit

Tahun ini merupakan tahun terberat bagiku, setelah badai yang meluluhlantahkan kepercayaanku pada seseorang akhirnya hancur tak tersisa. Rasanya hidup kehilangan arah dan tujuan. Tak ada semangat yang menjadi cahaya dalam hidupku. Yang ada hanya keputusaan yang meninggalkan luka yang masih menganga.

Telah lama kusimpan luka ini hingga rasa lelah itu tak mampu kubendung. Sementara masih ada anak yang harus kupikirkan. Anak yang tak berdosa yang harus menanggung masalah sebesar ini. Apakah aku akan tega menghancurkan nasiibnya? Hanya karena egoku dan sakit hati yang terus bersemayam di pikiran.

Mereka tak bersalah, yang salah adalah orang tuanya yang memegang prinsipnya masing-masing. Sementara harga diriku terlalu mahal untuk memaafkan seseorang yang selama ini aku percaya sepenuh hati. Namun begitu mudah kepercayaan itu dihianati dengan alasan yang tidak masuk akal. Apa memang kesalahan yang ada dengan dasar khilaf lantas semua harus dimaafkan dan dilupakan?

Itu terlalu mudah dalam hidup. Bukankah rasa percaya itu merupakan sebuah pondasi memulai sebuah hubungan baik. Bagaimana kalau rusak dan bahkan tak tersisa? Seperti halnya kue yang tampilan bagus tapi di dalamnya rasanya juga tak senyaman tampilannya. Begitulah rasa yang kurasakan sekarang. Mau memutuskan pergi rasanya sulit, mau lari seolah lelah dengan keadaan juga tak mampu kulakukan.

Satu-satunya yang kulakukan adalah fokusku pada anakku yang kini menggapai  mimpinya. Mimpi ingin seperti anak kebanyakan. Mimpinya ingin jadi dokter. Sebuah mimpi yang perlu dukunganku tentunya. Kucoba redam rasa yang masih bergejolak di dada dan berusaha berdamai dengan keadaan agar aku bisa melepas belenggu secara pelan-pelan.

          "Ma, saya ingin ikut tes sekolah unggulan? Kira-kira saya bisa masuk, tidak?" sebuah pertanyaan dengan nada pesimis mulai merasuki benaknya. Rasanya aku tak tega membiarkan dirinya berjuang sendiriannya. Dia masih memerlukan aku untuk mendukung langkahnya.

          "Wah, ide bagus. Insyaalah kau bisa, Nak!" Semangat itu terus aku gelorakan hingga keyakinananya ada. Aku tak mau melihat anakku merasakan sakit yang pernah aku rasakan. Dari kecil hingga saat ini selalu berkutat dengan tantangan. Tantangan itulah yang membuatku mampu mengobati sisa puing-puing yang masih membekas di hati.

          "Kamu tak perlu pesimis Nak, jika ada kemauan, pasti ada jalan keluar" jelasku

          "Tapi kegiatanku sangat padat di pondok pesantrean, apa saya mampu melewatinya? Sementara aku tak sehebat kakakku." Ujarnya dengan derai air mata yang tak mampu dibendungnya. Aku hapus air matanya berlahan dan mencoba menenangkan.

          "Kau harus kuat seperti mamamu ini. Tunjukkan pada dunia bahwa kau mampu menjadi anak terbaik. Mama tak suka kau menjadi wanita lemah yang hanya bisa meratapi diri seolah tak berharga." jelasku kemudian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun