Di era digital ini, kehidupan masyarakat Indonesia mengalami transformasi besar. Media sosial telah menjelma menjadi ruang publik baru tempat berjuta opini tumpah ruah setiap harinya. Tak hanya menjadi tempat untuk bersilaturahmi atau berbagi kabar, media sosial juga menjelma sebagai panggung ekspresi, forum kritik, hingga arena adu argumen. Namun di balik gemerlapnya teknologi ini, ada satu sisi kelam yang kian hari kian mengakar: budaya komentar yang merendahkan, menghina, bahkan menyakiti.
Kebebasan berbicara yang difasilitasi oleh platform digital seharusnya menjadi anugerah untuk membangun diskusi yang sehat, bukan menjadi celah untuk melampiaskan kekesalan atau kekecewaan. Sayangnya, yang terjadi di dunia maya justru sebaliknya. Komentar-komentar yang muncul pada unggahan publik figur, tokoh masyarakat, lembaga pemerintah, atau institusi swasta, sering kali tidak mengandung kritik yang membangun, apalagi apresiasi. Alih-alih menyumbang ide, sebagian besar komentar justru bernada menghina, menyudutkan, dan mencela tanpa dasar.
Fenomena ini bukan sekadar asumsi. Sebuah studi oleh Microsoft pada tahun 2020 menyebut bahwa pengguna internet di Indonesia berada di peringkat terbawah dalam hal kesopanan digital se-Asia Tenggara. Fakta ini patut menjadi alarm serius. Kita, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi budaya santun dalam interaksi langsung, justru kehilangan hal itu saat berpindah ke dunia maya. Ada semacam keberanian semu yang tumbuh saat wajah kita tersembunyi di balik layar. Kita merasa berhak melontarkan apa saja, seolah ruang digital bebas dari tanggung jawab sosial.
Sayangnya, kebiasaan buruk ini memiliki dampak nyata. Bagi individu, komentar negatif bisa sangat merusak kesehatan mental. Rasa malu, tekanan sosial, bahkan depresi bisa muncul hanya karena satu baris kalimat yang tajam di kolom komentar. Tak sedikit publik figur yang akhirnya memilih menghilang dari dunia maya, atau bahkan dari panggung kehidupan publik, karena tidak tahan menghadapi serangan bertubi-tubi yang datang tanpa henti. Bagi lembaga atau instansi, komentar sembrono yang tidak memahami konteks bisa mempengaruhi citra dan kepercayaan masyarakat. Banyak upaya perbaikan yang terhambat karena wacana publik sudah kadung dibentuk oleh sentimen dan tuduhan, bukan oleh fakta dan data.
Bila kita renungkan lebih dalam, akar dari budaya komentar merendahkan ini berakar pada minimnya literasi digital. Literasi digital bukan sekadar tahu cara menggunakan teknologi, tetapi juga soal bagaimana berpikir kritis, menyerap informasi secara utuh, memahami konteks, dan tentu saja---menjaga etika dalam berinteraksi. Sayangnya, banyak netizen yang hanya membaca judul tanpa memahami isi, lalu berkomentar seolah sudah mengetahui segalanya. Kebiasaan instan ini mendorong orang untuk menghakimi, bukan memahami.
Sebagai contoh nyata, beberapa waktu lalu terjadi serangan komentar negatif terhadap salah satu kementerian yang mencoba melakukan reformasi dalam tata kelola administrasi publik. Alih-alih mendapatkan dukungan atau saran yang membangun, lembaga tersebut justru diserang habis-habisan oleh komentar yang sebagian besar tidak memahami maksud kebijakan. Kalimat seperti "cuma pencitraan" atau "kerja nggak becus" membanjiri unggahan mereka. Tak ada yang menanyakan latar belakang kebijakan, atau menyodorkan solusi. Yang ada hanya kekesalan yang disembur dalam bentuk hinaan.
Perilaku semacam ini tak hanya merusak tatanan komunikasi digital, tetapi juga menutup ruang dialog yang seharusnya menjadi jantung demokrasi. Bila kita terus memelihara pola pikir cepat marah, cepat menghakimi, dan malas memahami, maka ruang publik kita akan terus dijejali suara bising yang miskin makna. Diskusi akan digantikan oleh debat kusir, dan ide-ide cemerlang akan tenggelam dalam lautan cacian.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita semua, dari yang muda hingga yang tua, memulai perubahan. Literasi digital bukan hanya tanggung jawab sekolah atau pemerintah, tapi juga tanggung jawab kita sebagai warga digital. Kita perlu mengajarkan diri sendiri untuk menahan jari sebelum menekan tombol 'kirim'. Kita harus belajar memeriksa kebenaran informasi sebelum menyebarkannya, dan yang paling penting: kita harus sadar bahwa komentar kita bisa menyembuhkan atau menyakiti.
Mengapa kita tidak mencoba mengganti komentar seperti "bodoh banget sih" dengan "mungkin bisa dijelaskan lebih detail agar publik paham"? Mengapa kita tidak mengganti "kerja apa sih kalian?" dengan "apa kendala yang dihadapi, dan bagaimana kami bisa membantu?" Perubahan kecil dalam pilihan kata bisa membawa perubahan besar dalam nuansa diskusi. Kita perlu ingat bahwa kritik tidak harus kasar untuk menjadi kuat. Justru kritik yang paling tajam adalah yang disampaikan dengan tenang, berisi, dan sopan.
Tentu, tidak semua komentar negatif lahir dari niat jahat. Banyak yang muncul karena rasa kecewa atau putus asa. Namun, kekecewaan bukan pembenaran untuk menyerang secara personal. Bila kita ingin perubahan, maka mulailah dengan cara menyampaikan pendapat yang membuka ruang dialog, bukan mematikannya. Bila kita ingin didengar, maka belajarlah untuk berbicara dengan penuh empati.
Media sosial bukan ruang kosong. Di balik setiap akun, ada manusia yang bernapas, yang bisa terluka. Jangan sampai jari-jemari kita menjadi alat untuk menghancurkan orang lain hanya karena kita sedang kesal. Kritik yang baik lahir dari pemahaman yang menyeluruh, bukan dari ledakan emosi sesaat.