Mohon tunggu...
Subarkah Bin Maridjan
Subarkah Bin Maridjan Mohon Tunggu... -

Rumah Kesabaran dan Persahabatan. Begitulah saya ingin menamakan setiap jengkal tanah tempat saya melangkah. Kesabaran tak mengenal batas. Saya sangat mencintai dan ingin merengkuh kesabaran setiap saat. Pernah menjadi wartawan kampus sewaktu mahasiswa, wartawan harian umum ketika mulai mengenal dunia kerja. Kini hanya menulis untuk memupuk kesabaran diri sendiri. Karena itu saya kagum pada setiap orang yang mampu melakukan dua hal sekaligus; menulis dengan menarik dan berbicara dengan baik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hari Persahabatan, Mungkinkah?

10 Maret 2010   07:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:30 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudahkah Anda punya sahabat? Pertanyaan itu mungkin klise. Atau mungkin juga hanya iseng belaka. Tetapi sebagai orang yang pernah belajar tentang sosiologi, pertanyaan saya tentang sahabat seakan memang tidak pernah berakhir. Perlukah seseorang itu sahabat? Untuk apa adanya sahabat? Untuk sekadar teman curhat atau untuk ekspresi dan pengakuan eksistensi diri semata. Pada semua kisah, apakah itu kisah cinta, peperangan, pengkhianatan, politik, intrik kekuasaan, perbedaan kelas sosial, bahkan petualangan sekalipun, juga dalam dongeng-dongeng fabel ketika kita masih kanak-kanak dulu, kita pasti tahu bahwa si tokoh utama pasti punya "peran pembantu"--mengambil istilah penghargaan Piala Citra--dan peran pembantu itu kalau tidak sang tokoh antagonis (lawannya), pastilah sahabat sang tokoh utama. Biasanya sang tokoh utama tidak akan menjadi hero tanpa sahabatnya itu. Jadi dalam setiap skenario, pasti dihadirkan seorang (beberapa) sahabat. (Bagi teman-teman yang mau nulis novel, skenario film dan lain-lain, jangan lupa hadirkan sabahat bagi sang tokoh ya). Apakah manusia memang ditakdirkan untuk punya sahabat? Kalau untuk punya sahabat saya yakin tidak, karena belum tentu semua orang punya sahabat. Kalau dalam teori sosiologi dan politik sih, katanya manusia itu zoon politicon. Membutuhkan orang lain, tidak bisa hidup sendiri. Kalau membutuhkan orang lain dan tidak bisa hidup sendiri, itu sih memang benar. Tetapi sahabat bukan hanya itu. Dalam teori psikologi, masalah curhat mungkin sebenarnya dianggap sebagai gejala biasa saja. Tetapi kalau sahabat hanya untuk sebatas curhat, ya pergi saja ke psikolog atau psikiater, ngomong dan bayar lalu selesai. Apakah memang hanya sebatas itu? Atau sahabat itu hanya untuk ngerumpi, ngobrol, ngegosip, gibah atau sejenisnya? Memang sih ada cerita tentang seorang pemuda yang bertualang seorang diri, mencari arti hidup seorang diri. Tetapi saya yakin dia tetap punya sahabat, namun sang sahabat itu tidak bersamanya. Tentang sahabat ini sepertinya sudah jadi hukum Tuhan. Ingat kisah Musa, siapa sahabat Musa? Ingat kisah Isa, siapa sahabat Isa? Ingat kisah Ibrahim, siapa sahabat Ibrahim? Ingat kisah Muhammad, siapa saja sahabat Muhammad yang katanya dijamin masuk surga itu? Ingat kisah Adam, siapa sahabat Adam? Memang Anda akan mengatakan tidak semua tokoh-tokoh itu punya sahabat. Tetapi saya yakin sebenarnya mereka semua punya sahabat, hanya saja cerita yang sampai pada kita tidak sampai menceritakan para sahabat itu. Ketika ada sebuah film legendaris tentang tokoh tertentu, si sahabat merasa kalau dia sebenarnya tidak diperlukan, baik oleh si tokoh maupun oleh rangkaian cerita film itu sendiri. Dia beranggapan bahwa tanpa dia si tokoh tetap akan menjadi tokoh, cerita filmnya akan tetap menarik ditonton tanpa ada dia di dalam cerita tersebut. Sehingga pada sequel berikutnya, dibuatlah cerita dengan tokoh utama si sahabat tersebut. Ternyata, dengan dia sebagai pemeran utama, dia mempunyai sahabat yang mendukung "karirnya" sebagai sahabat tokoh utama dalam film sebelumnya. Jadi dalam versi dia, sebenarnya dia juga punya sahabat lain yang barangkali posisinya lebih "inferior". Eehh..Lalu apakah posisi sahabat itu selalu "inferior" atau "peran pembantu" gitu ya? Wah-wah, selama ini mungkin mindset kita sudah disalahkan oleh cerita-cerita yang kita tonton atau kita dengar. (Barangkali ini satu lagi yang penting untuk menulis novel atau skenario, mungkin tidak akan ada cerita dengan dua atau lebih tokoh utama). Artinya, cerita-cerita itu semua tidaklah nyata. Karena dalam kenyataan hidup, kita masing-masing adalah tokoh, sahabat-sahabat kita juga tokoh bagi kehidupannya sendiri juga bagi kehidupan kita. Jadi sederajat. Di zaman dan era terkini, persahabatan malah bukan hanya di dunia nyata. Tetapi sudah sampai ke dunia maya melalui situs pertemanan dan jejaring sosial yang bersifat virtual. Kalau zaman dulu kita akan sangat bahagia kalau surat kita dibalas oleh "sahabat pena", sekarang orang akan sangat bangga kalau tulisan atau statusnya dibaca dan diberi komentar oleh para sahabat/jaringannya. Tetapi benarkah yang dalam dunia maya tersebut merupakan persahabatan? Setelah makan banyak korban? Yang kadang juga aneh, mungkin kita merasa bahwa seseorang itu adalah sahabat kita. Tetapi ternyata dia justru sebaliknya, tidak pernah merasa sebagai sahabat. Jangan sebagai sahabat, sebagai teman saja entah dia merasa atau tidak. Ingatkan, kalau kita berbicara pada seseorang pasti diawali, "sebagai teman, saya sarankan begini, begini, dst". Padahal orang itu saja mungkin ngak merasa sebagai teman. Atau kita juga sering mengucapkan, "sebagai teman, bantulah aku", dan sebagainya. Artinya, persahabatan memang bukan sekadar pergaulan biasa. Persahabatan bukan pertemanan biasa. Karena itu saya pikir persahabatan memerlukan persetujuan kedua belah pihak. Persahabatan mesti harus ada ikrar-nya. Harus ada akad nikahnya lah kalau dianalogikan dengan hubungan perkawinan suami istri. Coba, berapa banyak dari kita yang memang pernah melakukan akad untuk persahabatan kita dengan teman-teman kita. Saya melihat justru ketika masih kanak-kanak, ikrar persahabatan sering kita lakukan. Tetapi setelah terpisah, semakin dewasa, bertemu teman-teman baru, lulus sekolah, lulus kuliah dan bekerja, hal itu tidak pernah kita lakukan lagi. Saya mencita-citakan akan ada "Hari Sahabat" atau "Hari Persahabatan" se Indonesia saja cukuplah, kalau bisa sedunia ya tentu lebih baik. Lalu ada celebration gitulah. Atau acara apa gitu. Lalu kita masing-masing membawa sahabat kita (atau kita dibawa sahabat kita, mana yang benar ya sih) untuk ikut acara itu. Dan setelah bertemu, ternyata kita semua bersahabat. Asyiikkk... Atau minimal ada penetapan "Hari Persahabatan" di Indonesia. Biar kita tidak lagi emosi-emosian. Bisakah Anda mengingat-ngingat berapa jumlah sahabat Anda saat ini? Seberapa dekat persahabatan tersebut? Walaupun kita masing-masing sudah punyai suami atau istri, bahkan anak, kehadiran sahabat sangat penting. Bahkan terkadang karena kita tidak punya sahabat, sering kita menjadikan teman atau sahabat anak-anak kita sebagai sahabat. Dan berapa banyak pula orang tua yang tidak punya sahabat, namun akhirnya malah bersahabat dengan orang tua dari sahabat anak-anak kita itu. Lucukan kalau begitu, kita justru bersahabat dengan orang tuanya melalui anak-anak kita. Dan bukan sebaliknya, anak-anak kita bersahabat dengan anak-anak sahabat kita. Hari Persahabatan, Mungkinkah? Kalau mungkin, ya selamat Hari Persahabatan lah. Selamat bersahabat. Alangkah indahnya. Salam Persahabatan. Note: Untuk seorang sahabat yang telah mendahuluiku. Semoga menjadi pengingatku selalu. Terima kasih atas persahabatanmu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun