Mohon tunggu...
Subagio Waluyo
Subagio Waluyo Mohon Tunggu... Dosen - Taruna

Subagio S Waluyo, Lahir di Jakarta, 5 Maret 1958, sudah berkeluarga (1 istri, 5 anak, dan cucu), Pekerjaan sebagai dosen di FIA Unkris (1988 sampai sekarang), Pendidikan Terakhir S2 Administrasi Publik, Alamat Rumah Jalan wibawa Mukti IV/22, RT003/RW017, Jatiasih, Kota Bekasi 17422

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perilaku Bodong

15 Agustus 2019   00:12 Diperbarui: 15 Agustus 2019   00:41 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 Adi mengemukakan bahwa (1) korupsi sudah mengakar dan membudaya di negara ini sehingga sulit rasanya untuk dibasmi. (2) Siapapun yang berkuasa di negara ini (pemerintah)-nya yang berkuasa tidak pernah serius melawan korupsi karena tidak ada keinginan untuk menegakkan hukuman mati bagi pelaku korupsi. (3) Korupsi di negara ini bukan saja dilakukan oleh orang perorang, tapi ada pihak tertentu yang mem-backing aktivitas itu. 

Selain itu, ini yang perlu diperhatikan, juga ada tokoh di balik layar yang menskenarionya dan ada juga tokoh yang bersedia menjadi  martir untuk melakukan perbuatan tercela itu. Bagaimana dengan pemerintah itu sendiri? (4) Ternyata, pemerintah sendiri tidak memliki keinginan kuat untuk  memberantas korupsi. Hal itu terbukti ketika pemerintah beberapa waktu lalu melakukan pembiaran terhadap KPK yang dirusak oleh pihak-pihak yang berkepentingan. 

Kasus Novel Baswedan, misalnya, salah seorang anggota KPK yang disiram air keras usai sholat subuh, sampai sekarang kasusnya masih menggantung karena tidak ada upaya untuk menangkap pelakunya. (5) Terakhir, bagi sang koruptor melakukan korupsi yang berakhir dengan pemenjaraan bukan akhir segalanya. Mereka masih bisa hidup nyaman ketika baik di penjara maupun di luar penjara (setelah bebas nanti). Jadi, tidak ada istilah kapok bagi koruptor. Bukankah bagi mereka selepas dari penjara masih bisa korupsi lagi?

Dari dua bidang kehidupan, pendidikan dan hukum, sudah cukup untuk menggambarkan betapa bangsa ini bermoral rendah. Sekarang, apakah faktor-faktor penyebabnya yang menjadikan bangsa ini bermoral rendah? Bangsa ini bisa bermoral rendah faktor utamanya masalah iman yang semakin menipis. Kalau dikatakan tidak beriman terlampau ekstrim. 

Cukuplah kalau dikatakan bangsa ini semakin menipis imannya. Bangsa ini kalau diamati dari uraian di atas lebih mengedepankan hawa nafsu. Bukankah hawa nafsu lebih banyak mengajak kepada keburukan? Karena mengikuti hawa nafsu, banyak orang yang melakukan perilaku  menyimpang. Mereka memalsukan domisili cuma gara-gara mau  memasukkan anak di sekolah negeri. Termasuk dalam hal ini memalsukan KK. 

Kalau ditelisik bisa diketahui, orang memalsukan KK karena ada pihak-pihak terkait (dalam hal ini birokrat) yang memberikan kesempatan pada masyarakat yang memang sudah dikuasai hawa nafsu untuk memudahkan cara dengan membuat KK palsu. Jadi, `tidak ada asap kalau tidak ada api` berlaku dalam masalah pemalsuan KK.

Itu baru kasus KK yang dipalsukan belum lagi jual-beli kursi, atau ada intervensi dari pejabat tertentu agar anaknya bisa diterima di sekolah negeri yang tergolong favorit walaupun sang anak hasil Nilai Ujian Nasional (NUN)-nya rendah. 

Ada lagi pemakaian istilah atau kata halus `bina lingkungan` yang sebenarnya  lebih tertuju pada anggota dewan yang di kota atau kabupaten tertentu yang memang mendapat jatah untuk anak atau anggota keluarganya bisa bersekolah di sekolah negeri yang tergolong favorit. 

Jika tidak punya anak atau anggota keluarga yang mau bersekolah di sekolah negeri yang tergolong favorit, maka sang anggota dewan karena `bina lingkungan` menjual jatahnya pada sang calon orang tua siswa yang sudah dikuasai hawa nafsu untuk menyekolahkan anaknya di sekolah negeri yang tergolong favorit itu. Kasus `bina lingkungan` dianggap sah-sah saja karena memang ada kebijakan yang dikeluarkan walikota atau bupati setempat. 

Pihak sekolah mau tidak mau harus menerima kalau sudah ada instruksi dari atas. Kalau tidak, sang kepala sekolah akan `dipecat` yang juga istilahnya diperhalus menjadi `dimutasi` ke sekolah lain menjadi guru biasa. Atau kalau memang umurnya menjelang pensiun dimutasi ke Kantor Dinas Pendidikan setempat.

Bagaimana dengan korupsi? Idem alias sama saja, lebih juga disebabkan adanya hawa nafsu yang menguasai pejabat yang memang berprinsip pada `aji mumpung`. Selagi menjabat kapan lagi korupsi karena di benaknya cuma ada kesempatan untuk menjadi kaya, kesempatan untuk menyelamatkan anak keturunan agar tidak melarat, kesempatan untuk beristri lagi atau yang memang perilakunya sudah bejat untuk hidup berfoya-foya, atau kalau yang tergolong aktor politik kesempatan untuk memperpanjang masa jabatan di parlemen atau di pemerintahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun