Mohon tunggu...
Siprianus Bruto
Siprianus Bruto Mohon Tunggu... Lainnya - Memikirkan apa yang akan aku lakukan, dan melakukan apa yang telah aku pikirkan. Pencinta Sastra

Berdomisili di Flores, NTT, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat dari Elizabeth Teruntuk Nana Stefanus di Manggarai Timur

24 Januari 2021   08:39 Diperbarui: 24 Januari 2021   09:09 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nana Stefanus kekasihku,,
Dari sekian potret dermaga hati  di Manggarai Timur, hanya kau satu-satunya dermaga, tempat segala cintaku berlabuh, dan rinduku bersemi.

Nana Stefanus,,, semenjak sua mengambil pisah pada tubuh jarak, aku seperti profesor Ling-lung. Gelisah, takut, tidak tenang, bahkan hatiku runtuh seperti salib yang pernah kau tancap di gunung Ranaka itu. Aku tak tahu, apa yang terjadi. Barangkali karena jarak yang kian  hari kian menjelma jurang antara kau dan aku. Barangkali nana Stefanus, barangkali.

Nana Stefanus, tahukah engkau??  Ketika malam tiba, saat purnama dengan telanjang dan begitu polos di hadapan mataku, aku acapkali disetubuhi mimpi-mimpi buruk. Yang sering muncul adalah mimpi tentang kematianmu Nana Stefanus, ya,,, mimpi tentang kau. Apakah kau pernah melakukan kejahatan di sana? Atau apakah kau sakit sayang??? Ahh,, semoga tidak. Gelisah kadang-kadang mencambuk seisi diriku, aku takut kehilanganmu Nana Stefanus. Aku harap kau tahu dan mengerti itu.

Nana Stefanus, saat aku menenun kata pada tubuh kalimat, atas nama jujur aku ingin kau tahu bahwa hujan selalu tiba membasahi rona pipi ini, serupa musim hujan yang sering ibu sebut sebagai "dureng wa'a kondo latung". Ya,,, mungkin itu adalah kalimat yang paling tepat untuk melukiskannya Nana Stefanus.

Betapa tidak??

Hidup di sini begitu susah nana, bukan karena tidak ada makanan, minuman, atau uang. Bukan karena itu nana Stefanus. Hidup di sini, di desa ini susah karena tidak ada fasilitas yang mendukung Nana. Aku kerapkali menangisi diriku sendiri. Kadang isi kepala selalu menghadirkan segudang tanya: "mengapa aku ditugaskan di sini? Mengapa aku bisa berjumpa dengan kondisi ini. Nana Stefanus,, meski aku berada dalam desa  kuno ini,, tetapi percayalah rinduku dan cintaku tetap bermekar di taman hatimu. Ya,,, hanya untukmu sayang rindu ini berteriak.

Ohhh iya Nana Stefanus,, aku ingin kembali kepada bendahara ceritaku tadi.

Nana Stefanus, kala senja tiba di ceruk mata, aku selalu bertanya, sekadar melepaskan pusing yang selalu menggebu. Aku selalu tanya pada senja, apakah benar negara kita sudah merdeka? Apakah benar? Sebab aku menemukan titik kolonialisme baru di desa ini. Dari desa ini, tempat saya mengajar ini, aku belajar dan tahu bahwa kita belum merdeka sayang,, kita belum merdeka. 

Masih ada kolonialisme di sini, yaitu para pemimpin berwajah malaikat tetapi hatinya iblis, mereka mementingkan politik identitas. Sayang,,, aku yakin pasti kau tahu, apa itu politik identitas, sebab kau telah lama bekerja di bidang politik. Apalagi sekarang kau sudah menjadi sekertaris desa. Namun, izinkan aku untuk mengatakan bahwa politik identitas itu sayang,,, ia lebih bersifat primordial. Itu saja yang aku mengerti,, pasti kau yang lebih tahu tentang hal itu Nana Stefanus.

Nana Stefanus,, akibat dari konstruksi pemikiran dan gaya berpolitik seperti itu, akhirnya desa ini menjelma rumah hantu, mungkin ibarat kuburan para pecundang sayang,, desa ini sangat tertinggal jauh dari harapan, mungkin seumpama gelap yang tak ingin disetubuhi cahaya. Sangat sadis sayang. Di desa ini juga banyak warga bertanya, "Apakah memang mereka layak disebut warga desa? Apakah memang tempat mereka berpijak, adalah desa? Atau,,,", mereka juga bingung sayang,,,, bingung.

Nana Stefanus kekasihku,,
Aku ingin engkau tahu bahwa di desa ini, di sini, tempat saya mengajar ini, tidak ada gedung sekolah yang dibentuk dari batako, bahkan papan pun tidak sayang. Sekolah di sini hanya "beratap jerami, beralaskan tanah" mungkin benar juga kata penyanyi pop itu,, sebab penjelmaannya di sini di desa ini. Yang menjadi tragedinya adalah ketika musim hujan datang, liburnya banyak sayang,, sebab sekolahnya reot, dinding bambunya lapuk, atap bocor, banyaknya bolongnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun