Mohon tunggu...
Suaib Napir
Suaib Napir Mohon Tunggu... -

Direktur Mars Institute

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Heroik Pilpres 2019

9 Oktober 2018   13:35 Diperbarui: 9 Oktober 2018   13:48 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Wacana Pilpres menjadi tema politik yang hangat dan menarik diperbicangkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Perbincangan ini menjadi sangat seksi ketika membicarakan bagaimana peta Koalisi dibangun oleh pasangan Prabowo Subianto--Sandiaga Uno dan Juga Koalisi tanpa syarat dari Pasangan Joko Widodo--Ma'ruf Amin.

Dibalik kehangatan kondisi politik dalam menentukan siapa pemimpin Indonesia Yang akan datang terdapat satu hal sangat penting diingat, tetapi seolah-olah dilupakan yakni masalah etika politik. Darman Setyawan (2006) Etika Politik merupakan sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku politik dengan kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan.

Etika politik mutlak diperlukan bagi perkembangan kehidupan politik. Etika politik juga menjadi prinsip pedoman dasar yang dijadikan sebagai fondasi pembentukan dan perjalanan roda pemerintahan dalam konstitusi Negara.

Heroik Pilpres

Saat ini Indonesia berada pada era kebabasan berpolitik setelah melampaui masa kelam berpolitik. Seiring dengan datangnya era reformasi pada pertengahan tahun 1998, Indonesia memasuki masa transisi dari era otoritarian ke era demokrasi.

Dalam masa transisi itu, dilakukan perubahan-perubahan yang bersifat fundamental dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk membangun tatanan kehidupan politik baru yang demokratis. Tatanan kehidupan politik yang demokratis ini lambat laun tergerus oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Ini terlihat bagaimana para elit berkuasa lebih mudah menghalalkan segala cara apapun untuk mewujudkan kepentingannya. kekuasaan sudah tidak lagi mengindahkan nilai-nilai etik dan moralitas berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Etika berpolitik pada momentum Pilpres 2019 direpublik ini, kita harus mengakui bahwa banyak kalangan elite politik berpolitik dengan melalaikan etika kenegarawanan. Ini sangat menghawatirkan karena bukan hanya terjadi pembunuhan karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan isu penyerangan pribadi, namun juga politik kekerasan-pun terjadi. Para elite politik saat ini cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan tumbuhnya budaya kekerasan.

Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka sebagian besar berasal dari partai politik atau kelompok-kelompok yang berbasis primordial, sehingga elite politikpun cenderung berperilaku yang sama dengan perilaku pendukungnya. Bahkan elite seperti ini merasa halal untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung langkah politiknya.

Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini cenderung berimbang. Jika mereka terus berbenturan, tak akan selesai dan takkan ada yang menang.

Kurangnya etika berpolitik sebagaimana prilaku para elite merupakan akibat dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai. Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika serta moral.

Politik yang mengedepankan take and give, berkonsensus, dan pengorbanan. Kurangnya komunikasi politik juga menjadi penyebab lahirnya elite politik yang rusak, yakni elite politik tidak mampu lagi menyuarakan kepentingan rakyat, tetapi semakin berkembang perilaku politik yang dipandu oleh nilai-nilai emosi pribadi dan kelompok kepentingan.

Indonesia yang sedemikian plural dari sisi etnik, agama, bahasa, dan budaya memerlukan waktu lama untuk mencapai soliditas berbangsa dan bernegara. Amerika Serikat memerlukan waktu lebih dari 100 tahun untuk membangun kemapanan dalam tradisi berdemokrasi. Sebagai bangsa dan negara yang masih muda, sesungguhnya wajar saja jika kohesivitas dan soliditas keindonesiaan kita masih rapuh, mudah goyah dan gamang ketika diterpa konflik antar-kelompok primordial. Dengan belajar dari pengalaman sejarah bangsa lain, kita juga tidak perlu memulai dari awal. We should not reinvent the wheel. Indonesia mesti mampu melakukan akselerasi dalam memantapkan state building dan citizenship tanpa menggusur pluralitas budaya dan agama yang menjadi elemen dan identitas kebangsaan kita. Tanpa kepemimpinan berwibawa, tegas, dan visioner, tidak mudah menciptakan ruang publik yang nyaman dan dinamis bagi masyarakat Indonesia yang majemuk. Kita lebih merasa terpanggil sebagai warga komunitas kelompoknya ketimbang sebagai warga negara sehingga sulit menata dan menjaga ruang publik tempat sesama warga negara membicarakan persoalan bangsa secara demokratis dan bebas dari tekanan. Tokoh-tokoh parpol, ormas, ulama, dan pemerintah mestinya duduk bersama untuk membuat rambu-rambu yang jelas bagaimana membangun ruang publik yang sehat.

Menarik memang ketika media social dalam Pilpres, seperti facebook mengisi ruang poblik dalam membincang masalah politik dan sangat meningkat drastis, baik di dalam negeri maupun di tingkat Internasional. Pesaing-pesaingnya, seperti Google, Microsoft, dan bahkan Yahoo! merasakan hal tersebut. Di Indonesia hingga akhir tahun 2008 telah mengalami peningkatan 645 persen sejak kemunculannya di Indonesia. Pada bulan Februari 2017, pengguna aktif di Indonesia telah mencapai angka 7 juta lebih.

Banyak kalangan ikut serta dan aktif menjadi konsumen facebook, sebuah jejaring sosial (social network) yang diciptakan oleh Mark Zukerberg, seorang mahasiswa Drop Out di Universitas Harvard. Mulai dari pekerja kantor, politikus, mahasiswa, hingga pengangguran sekalipun kini mudah menjadi pengguna facebook. Peningkatan secara statistik ini didukung besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan mobile terbesar di dunia dengan memberikan kemudahan berupa aplikasi sebagai komoditi.

Latar geografis dan ekonomi pun tidak menghalangi masyarakat untuk mengakses internet sebagai pengguna facebook. Wajar bila pemuda desa yang menganggur telah terdaftar sebagai pengguna facebook, karena metode akses mobile-pun telah ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan produsen mobile. Lantas, fenomena yang berdasarkan sosial ini-pun digunakan sebagai pemanfaatan ruang publik yang politis oleh kalangan politikus dalam melakukan tindakan-tindakan politik praktis.

Di Amerika Serikat, kampanye Obama tidak menyia-nyiakan ruang tersebut dalam menjaring dan memanfaatkan untuk kampanye politik. Pilpres 2014 kemarin pun memanfaatkan ruang publik ini untuk menjaring dan melakukan kampanye politik. Apalagi hembusan pemilihan presiden kali ini tahun 2019 menjadi ajang aktualisasi, baik yang positif maupun yang negatif membicarakan momentum politik secara urak-urakan.

Antara Idealisme & Hedonisme

Ditengah hiruk pikuk pertarungan pemilihan pilpres 2019 ini, masing-masing kubu yang bertarung menganggap kubunya adalah pasangan kuat dengan aliran ideologis yang sama-sama mengagumkan bung Karno. Etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.

Etika Politik dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara. Masalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah. TAP ini mengamanatkan kepada seluruh warga negara untuk mengamalkan etika kehidupan berbangsa. Untuk berpolitik dengan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara, paling tidak dibutuhkan dua syarat, yaitu Ada kedewasaan untuk dialog dan Dapat menomorduakan kepentingan pribadi atau kelompok.

Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertatakrama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi pedoman utama dengan politik santun, cerdas, dan menempatkan bangsa dan negara di atas kepentingan partai dan golongan.

Pada dasarnya Huntington memperingatkan bahwa tahun-tahun pertama berjalannya masa kekuasaan pemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan bagi-bagi kekuasaan diantara koalisi yang menghasilkan transisi demokrasi tersebut, penurunan efektifitas kepemimpinan dalam pemerintahan yang baru sedangkan dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum akan mampu menawarkan solusi mendasar terhadap berbagai permasalahan sosial dan ekonomi di negara yang bersangkutan. Tantangan bagi konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan tidak justru hanyut oleh permasalahan-permasalahan itu.

Unsur-unsur negara yang paling penting yang dapat membedakan dengan organisasi lainnya adalah luas dan besarnya kekuasaan dan kedaulatan serta hak istimewa negara dalam memaksa segala macam institusi untuk tunduk kepadanya dengan hegemoni yang dimilikinya. Apalagi dalam penerapan sistem sosialis tradisional negara dapat memonopoli serta dapat merampas hakhak rakyat baik secara pribadi, sosial dan ekonomi maupun substansi seperti cara berpikir, berbicara dan bertingkah laku.

Peranan negara biasanya sesuai dengan fungsi institusi politik dan ditentukan oleh corak sistem politiknya. Menurut Adam Smith, tugas negara adalah melindungi masyarakat dari kekerasan institusi manapun, ketidakadilan masyarakat lain dan menjaga pekerjaan masyarakat (Stepan, 1978), sedangkan fungsi negara lain adalah keamanan luar negeri, ketertiban dalam negeri, keadilan, kesejahteraan umum dan kebebasan (Budiardo, 1978). 

Oleh sebab itu, negara memerlukan sarana untuk tercapainya fungsi tersebut, yaitu kekuatan polisi dan militer, peradilan independen, pegawai negeri yang taat kepada negara serta administrasi keuangan yang jujur dan monopoli persoalan keuangan (Bonne, 1973). Dari berbagai perspektif fungsi negara, yang lebih menonjol adalah peranan negara dalam bidang ekonomi dalam bentuk pemilikan masyarakat terhadap kapital produksi (state owned enterprise).

Beberapa fungsi negara yang berkaitan dengan ekonomi, yaitu: menjamin hak miliki, liberalisasi ekonomi, pengaturan siklus bisnis, perencanaan ekonomi, pemberian input tenaga kerja, tanah, modal, teknologi, infrastruktur ekonomi dan input manufaktur, campur tangan sensus sosial dan mengelola sistem ekonomi (Rusli, 1995).

Sekalipun banyak tokoh yang mempunyai pandangan peranan negara dalam ekonomi dominan, namun tokok lain seperti Evans membantah "hipotesis" negara merupakan "aktor ekonomi" yang sudah ditinggalkan, karena aktor lintas bangsa swasta lebih berkembang, sehingga aparatur negara menjadi lemah (Evans, 1986).

Pengaruh ideologi terhadap peranan negara sangat berkesan, negaranegara sosialis lebih menunjukkan peran utama dalam pembangunan sosial ekonomi, terlebih lagi pada negaranegara yang sedang berkembang, sedangkan negaranegara pusat kapitalis lebih rendah. Kuatnya peranan negara ditandai pula oleh rejim otoriterian, sebaliknya gerakan demokratisasi membawa akibat melemahnya peranan negara.

Konsolidasi demokrasi menuntut etika politik yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya pada pentingnya etika politik pada asumsi bahwa semua sistem politik termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan etika politik yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut. Implikasinya proses demokratisasi tanpa etika politik yang mengakar menjadi rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang terpecah.

Dalam Modern Political Analysis yang ditulis oleh Robert A. Dahl (1976), menemukan definisi political system. Robert A. Dahl mendefinisikan "a political system as any persistent pattern of human relationships that involve to a significant extent, control, influence, power, or authority" Penulis, pada masa itu, merasa mengerti definisi tentang sistem politik sebagai suatu pola dari hubungan-hubungan manusia secara tepat yang melibatkan pada pengawasan, pengaruh, kekuasaan, atau kewenangan.

Perasaan tersebut sekarang dianggap salah karena penulis sebenarnya belum mengetahui pola dari hubungan-hubungan manusia, pengawasan, pengaruh, kekuasaan, atau kewenangan tersebut. Analisis kebijakan dalam analisis politik atau tindakan politik akan melakukan penelitian mengenai kesenjangan-kesenjangan antara eksistensi keadaan pada masa kini dan kemungkinan keadaan yang lebih baik pada masa yang akan datang. 

Penelitian diarahkan pada ketidakpuasan ingin mencapai keadaan yang mencerminkan kepuasan dan mencari cara-cara pemecahan ketidakpuasan tersebut, suatu kebijakan yang akan mengusahakan dari keadaan yang tidak diinginkan ke arah keadaan yang diinginkan.

Inti dari orientasi kebijakan dalam analisis politik adalah suatu pertimbangan atas alternatif-alternatif dan akibat-akibat dari tiap alternatif tersebut. Hal ini tergantung pada sasaran-sasaran  dan hakikat dari situasi spesifik. Apakah analisis kebijakan itu dapat dikembangkan ke dalam suatu bidang pengetahukan khusus merupakan suatu pertanyaan yang belum dapat dijawab hingga saat ini.Robert A. Dahl juga telah membahas "the network of causes".

Robert A. Dahl, setelah membahas mengenai jaringan dari sebab-sebab, kemudian menyatakan bahwa :"No doubt  a complete explanation of influence relations in a political system would try to describe and explain effects attributable to all these links in the chain of social causation, and others as well". 

Pemahaman atas pernyataan Robert A. Dahl sebagaimana dikutip di atas akan membutuhkan kemampuan kognitif mengenai teori dan analisis jaringan sosial karena dalam pernyataan itu terkandung konsep-konsep mengenai influence relations, attributable, links, chain of social caucation, yaitu konsep-konsep yang biasa dipakai dalam teori dan analisis jaringan sosial.

Hidayat Nurhawid menyampaikan bahwa perilaku pemimpin nasional pun, sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan massanya. Karena itu tumbuhnya kedewasaan politik di antara pemimpin nasional sangat dapat menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran serta untuk menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia sendiri. Untuk menyelamatkan bangsa ini mau tak mau pendidikan kewarganegaraan harus semakin dikembangkan. Sebagai contoh adalah melalui pendidikan kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi yaitu pendidikan yang menyadarkan kita terhadap pluralitas dan keberagaman yang tinggi. Pluralitas ini begitu penting dan harus diutamakan.

Berpolitik tanpa kesadaran etika dan moral hanya akan melahirkan krisis kepemimpinan. Karena itu, sekarang yang diharapkan adalah adanya pencerahan dari kembalinya budayawan dan agamawan yang bermoral sehingga kita senantiasa kembali pada etika, moralitas, dan kebhinnekaan. Krisis kehidupan berbangsa dan bernegara, yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, antara lain karena persoalan etika dan perilaku kekuasaan. Silang pendapat, perdebatan, konflik, dan upaya saling menyalahkan terus berlangsung di kalangan elite, tanpa peduli dan menyadari bahwa seluruh rakyat kita sedang prihatin menyaksikan kenyataan ini. Kemampuan membangun harmoni, melakukan kompromi dan konsensus di kalangan elite politik kita terkesan sangat rendah, tetapi cepat sekali untuk saling melecehkan dan merendahkan. Padahal untuk mengubah arah dan melakukan lompatan jauh ke depan, sangat diperlukan kompromi dan semangat rekonsiliasi.

Ada hal yang menarik saat ini yakni  media sosial, seperti facebook mengisi ruang poblik dalam membincang masalah politik dan sangat meningkat drastis, baik di dalam negeri maupun di tingkat Internasional. Media sosial mestinya menjadi ajang Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden untuk menjadi selebritis dan salah satu pusat untuk menggoda rakyat agar mendapat pilihan-pilihan dari rakyat yang dapat merubah nasib caleg menjadi bermartabat.

 Menurut hemat saya, aksi itu adalah bahagian dari rekayasa para aktor-aktor politik Capres-Cawapres dua pasangan dengan sistem yang dibangun menurut saya tidak menempatkan etika dalam ruang publik. Kalaupun ada yang bisa menempatkan etika, itu berarti hanya sebagian kecil saja. Karena selama ini  sudah menggurita kejadian yang bersifat pragmatisme aktor-aktor politik yang brengsek dalam mengisi ruang publik. Bagaimana tidak, yang tidak mungkin dilakukan berubah menjadi janji yang begitu mudaht diucapkan para Capres-Cawapres kemasyarakat. Ini memang sudah merusak sendi kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara, sehingga etika politik tidak mengisi ruang publik untuk membawa kesejahteraan rakya rakyat, tapi yang terjadi adalah banyak janji-janji manis yang berubah menjadi kebohongan publik.

Untuk menghindari itu, berbagai pandangan peranan negara sebagai dipaparkan diatas, dapat diklasifikasikan dalam berbagai kategori, yaitu peranan negara bersifat pengaturan, peran negara berkaitan dengan kemajuan ekonomi, peran negara berkaitan dengan kesejahteraan sosial dan keamanan, serta peran negara untuk bekerja sama antar negara. Kajian tentang peranan negara diperlukan pendekatan multidisipler, perkembangan masyarakat mempengaruhi corak dinamika peranan negara. Demokratisasi sangat mempengaruhi dinamika peranan negara, namun demokrasi mengalami banyak tantangan di era globalisasi yang berakibat negaranegara kuat atau besar ada kecenderungan memiliki pengaruh terhadap negara berkembang sehingga melemahnya peran negara di negara berkembang.

Dalam presfektif empiris kehidupan civil society juga etika dalam berprilaku menentukan sikap-sikap politik juga ikut serta dalam dinamika kebobrokan yang sudah terjadi, begitupun dengan sistem kepartaian. Ujung tombak Pendidikan politik seharusnya partai politik, karena dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu itu diatur bahwa pendidikan wajib dilakukan oleh partai politik. Realitasnya terlihat bahwa pendidikan politik jarang dilakukan, sehingga untuk menegakkan nilai-nilai dari etika politik dalam ruang publik menjadi sesuatu yang boleh dikata buah simalakama.

Pasca-reformasi dari awalnya banyak harapan rakyat yang ditumpukan kepada negara agar negara mampu berperan sebagaimana diamanatkan UUD 1945, namun demikian setelah bergulirnya reformasi selama lebih 10 tahun kepercayaan masyarakat pada kemampuan negara mengelola berbagai permasalahan tampaknya menipis.  Sultani (2011) mengungkapkan dispartitas yang tinggi antara problem dan tingkat kepuasan terhadap penanganan masalah bangsa menunjukkan komponen kenegaraan belum optimal menangani berbagai masalah, negara terkesan tidak memiliki pijakan yang kuat sehingga kerap tergagap dalam menghadapi problem penting yang muncul, sering persoalan dibiarkan mengambang tanpa penyelesaian bersifat substansial, seperti masalah korupsi dan kemiskinan adalah problem yang besar, negara bersikap defensif dalam menghadapinya persoalan pada Bank Century, mafia pajak, mafia hukum dan lainlainnya yang berakhir dengan antiklimaks. Dalam persoalan kemiskinan, negara tidak hanya cenderung menampilkan agregat kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi negara juga hadir menyelesaikan jurang kaya--miskin yang semakin mendalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun