Mohon tunggu...
Suaib Napir
Suaib Napir Mohon Tunggu... -

Direktur Mars Institute

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Heroik Pilpres 2019

9 Oktober 2018   13:35 Diperbarui: 9 Oktober 2018   13:48 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik yang mengedepankan take and give, berkonsensus, dan pengorbanan. Kurangnya komunikasi politik juga menjadi penyebab lahirnya elite politik yang rusak, yakni elite politik tidak mampu lagi menyuarakan kepentingan rakyat, tetapi semakin berkembang perilaku politik yang dipandu oleh nilai-nilai emosi pribadi dan kelompok kepentingan.

Indonesia yang sedemikian plural dari sisi etnik, agama, bahasa, dan budaya memerlukan waktu lama untuk mencapai soliditas berbangsa dan bernegara. Amerika Serikat memerlukan waktu lebih dari 100 tahun untuk membangun kemapanan dalam tradisi berdemokrasi. Sebagai bangsa dan negara yang masih muda, sesungguhnya wajar saja jika kohesivitas dan soliditas keindonesiaan kita masih rapuh, mudah goyah dan gamang ketika diterpa konflik antar-kelompok primordial. Dengan belajar dari pengalaman sejarah bangsa lain, kita juga tidak perlu memulai dari awal. We should not reinvent the wheel. Indonesia mesti mampu melakukan akselerasi dalam memantapkan state building dan citizenship tanpa menggusur pluralitas budaya dan agama yang menjadi elemen dan identitas kebangsaan kita. Tanpa kepemimpinan berwibawa, tegas, dan visioner, tidak mudah menciptakan ruang publik yang nyaman dan dinamis bagi masyarakat Indonesia yang majemuk. Kita lebih merasa terpanggil sebagai warga komunitas kelompoknya ketimbang sebagai warga negara sehingga sulit menata dan menjaga ruang publik tempat sesama warga negara membicarakan persoalan bangsa secara demokratis dan bebas dari tekanan. Tokoh-tokoh parpol, ormas, ulama, dan pemerintah mestinya duduk bersama untuk membuat rambu-rambu yang jelas bagaimana membangun ruang publik yang sehat.

Menarik memang ketika media social dalam Pilpres, seperti facebook mengisi ruang poblik dalam membincang masalah politik dan sangat meningkat drastis, baik di dalam negeri maupun di tingkat Internasional. Pesaing-pesaingnya, seperti Google, Microsoft, dan bahkan Yahoo! merasakan hal tersebut. Di Indonesia hingga akhir tahun 2008 telah mengalami peningkatan 645 persen sejak kemunculannya di Indonesia. Pada bulan Februari 2017, pengguna aktif di Indonesia telah mencapai angka 7 juta lebih.

Banyak kalangan ikut serta dan aktif menjadi konsumen facebook, sebuah jejaring sosial (social network) yang diciptakan oleh Mark Zukerberg, seorang mahasiswa Drop Out di Universitas Harvard. Mulai dari pekerja kantor, politikus, mahasiswa, hingga pengangguran sekalipun kini mudah menjadi pengguna facebook. Peningkatan secara statistik ini didukung besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan mobile terbesar di dunia dengan memberikan kemudahan berupa aplikasi sebagai komoditi.

Latar geografis dan ekonomi pun tidak menghalangi masyarakat untuk mengakses internet sebagai pengguna facebook. Wajar bila pemuda desa yang menganggur telah terdaftar sebagai pengguna facebook, karena metode akses mobile-pun telah ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan produsen mobile. Lantas, fenomena yang berdasarkan sosial ini-pun digunakan sebagai pemanfaatan ruang publik yang politis oleh kalangan politikus dalam melakukan tindakan-tindakan politik praktis.

Di Amerika Serikat, kampanye Obama tidak menyia-nyiakan ruang tersebut dalam menjaring dan memanfaatkan untuk kampanye politik. Pilpres 2014 kemarin pun memanfaatkan ruang publik ini untuk menjaring dan melakukan kampanye politik. Apalagi hembusan pemilihan presiden kali ini tahun 2019 menjadi ajang aktualisasi, baik yang positif maupun yang negatif membicarakan momentum politik secara urak-urakan.

Antara Idealisme & Hedonisme

Ditengah hiruk pikuk pertarungan pemilihan pilpres 2019 ini, masing-masing kubu yang bertarung menganggap kubunya adalah pasangan kuat dengan aliran ideologis yang sama-sama mengagumkan bung Karno. Etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.

Etika Politik dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara. Masalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah. TAP ini mengamanatkan kepada seluruh warga negara untuk mengamalkan etika kehidupan berbangsa. Untuk berpolitik dengan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara, paling tidak dibutuhkan dua syarat, yaitu Ada kedewasaan untuk dialog dan Dapat menomorduakan kepentingan pribadi atau kelompok.

Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertatakrama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi pedoman utama dengan politik santun, cerdas, dan menempatkan bangsa dan negara di atas kepentingan partai dan golongan.

Pada dasarnya Huntington memperingatkan bahwa tahun-tahun pertama berjalannya masa kekuasaan pemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan bagi-bagi kekuasaan diantara koalisi yang menghasilkan transisi demokrasi tersebut, penurunan efektifitas kepemimpinan dalam pemerintahan yang baru sedangkan dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum akan mampu menawarkan solusi mendasar terhadap berbagai permasalahan sosial dan ekonomi di negara yang bersangkutan. Tantangan bagi konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan tidak justru hanyut oleh permasalahan-permasalahan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun