Mohon tunggu...
PPI TIONGKOK
PPI TIONGKOK Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merayakan Pariwisata di Desa Global

3 November 2018   21:36 Diperbarui: 3 November 2018   21:51 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari sisi cenderamata saja banyak produk yang bisa dibuat oleh para pelaku UMKM untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan. Mulai dari kaos, topi, gantungan kunci, tas hingga miniatur tempat wisata merupakan beberapa contoh cenderamata yang dapat diproduksi dengan melibatkan pelaku UMKM sekitar. Data yang rilis oleh Kementerian Pariwisata tahun 2016 menunjukkan bahwa untuk urusan cenderamata saja wisatawan mancanegara merogoh koceknya hingga 11.524,39 miliar rupiah. 

Cenderamata menempati urutan keempat dalam struktur pengeluaran wisman menurut produk barang dan jasa. Sehingga dibayangkan jika sektor pariwisata ini terintegrasi dengan sektor UMKM dampak ekonominya bagi masyarakat sekitar. Lapangan pekerjaan maupun pendapatan warga sekitar berpotensi meningkat dan tingkat pengangguran juga dapat tereduksi secara signifikan.

Pariwisata dan Desa yang terkoneksi

Gairah perkembangan pariwisata pada kenyataannya ikut menjalar ke berbagai pelosok desa di Indonesia. Apalagi saat ini desa memiliki gelontoran dana desa yang sangat besar. Kementerian Desa , Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah sendiri menetapkan 144 kawasan perdesaan sebagai kawasan pariwisata. Sektor pariwisata menjadi salah satu sektor favorit yang dikerjakan oleh pemerintah dan masyarakat desa untuk menggerakkan perekonomian desa mereka. 

Keinginan desa menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dapat diwujudkan dengan membangun sektor wisata desa secara komprehensif dan terintegrasi dengan baik. Semua stakeholder desa harus terlibat dalam membangun wisata yang berbasis di desa. Pihak desa bisa mengundang para pelaku wisata untuk terlibat dalam merencanakan sebuah konsep wisata yang mendasarkan pada potensi desa. Dengan keunikan cara pandang wisatawan saat ini maka pada dasarnya semua desa bisa memiliki destinasi wisata yang marketable. Tinggal bagaimana pengelola wisata tersebut mampu mendesain komunikasi pemasaran yang menarik dan dengan kemajuan informasi dan teknologi saat ini maka desa pun bisa menjangkau pemasarannya hingga ke sudut-sudut dunia. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai bagian dari unit bisnis desa bisa diserahi untuk mengelolanya secara profesional.

Kesadaran masyarakat dunia akan isu-isu iklim, pemanasan global hingga go green telah membawa mereka pada keinginan berwisata yang berbasis perdesaan dan kembali ke alam. Isu-isu ini tentu berpotensi menjadikan desa-desa dipenuhi turis-turis asing yang ingin tinggal di rumah-rumah adat di desa untuk menikmati hidangan menu rumahan. Pasar-pasar desa akan juga diserbu para bule yang ingin menikmati keriuhan orang desa tawar-menawar harga, yang tidak akan mereka jumpai di mall-mall. 

Sawah-sawah akan dipenuhi wisatawan-wisatawan berdasi yang ingin merasakan nikmatnya mananam dan memanen padi dengan kaki telanjang serta merasakan dinginnya lumpur sawah. Para wisatawan tersebut bisa menjadi Anna perempuan asal Boston, dalam film Leap Year, yang ingin merasakan festival Leap Year di Dublin namun secara tidak sengaja terlebih dahulu menyusuri desa-desa di Irlandia serta menikmati tradisi-tradisi di desa-desa tersebut. 

Desa memiliki potensi besar untuk menggenjot kunjungan wisatawan, baik domestic maupun asing. Untuk bisa mewujudkan desa yang berbasis wisata serta menggerakkan potensi masyarakatnya tentu bukan hal mudah. Keberhasilan Kota Batu, Kabupaten Banyuwangi dan terlebih Pulau Madura mendatangkan wisatawan ke pelosok-pelosok wilayah mereka bukanlah kerja instan semata. 

Benturan-benturan dengan masyarakat lokal dan terkadang dengan adat setempat menjadi tantangan tersendiri untuk mewujudkan pembangunan pariwisata desa yang terintegrasi. Pembinaan terhadap masyarakat untuk sadar wisata memerlukan ketekunan dan ketelatenan. Gegar budaya selalu terjadi dalam setiap aktifitas wisata, apalagi jika melibatkan melibatkan wisatawan asing. Perbedaan budaya yang cenderung ekstrim akan berpotensi menimbulkan benturan budaya. Menyeimbangkan antara kearifan lokal dengan budaya-budaya luar yang "menyerbu" tentu memerlukan kebijakan yang arif dari para pemangku kepentingan di desa. 

Harus dibangun sebuah rule of the game agar masing-masing bisa "berdamai" dalam perbedaan. Di sisi lain, yang tidak kalah penting tentu saja adalah pembangunan sarana dan prasarana yang memadai. Akses transportasi dan informasi menjadi kebutuhan yang krusial agar wisatawan dapat menjangkau titik destinasi dengan nyaman. Membangun city brand menjadi strategi lain yang tidak kalah penting karena dari situlah keunikan wilayah wisata tersebut akan dikenal. 

Akhirnya, semua hal tersebut harus dikemas dalam sebuah profil wisata yang menarik dan kemudian dipasarkan melalui berbagai saluran. Kecanggihan informasi dan teknologi tidak mengharuskan perangkat desa bepergian ke berbagai negara untuk mempromosikan tempat wisatanya. Cukup dengan jaringan internet mereka bisa bertamu dan memperkenalkan diri ke pelosok-pelosok wilayah seantero dunia di pojok ruangan kantor desa. Kepala Desa dengan mudah menyapa dan mengundang para calon tamunya dan memperkenalkan keunggulan-keunggulan wisata di desanya melalui laptop di meja kerjanya. Desa pun bisa memasarkan produk-produk unggulan yang diproduksi oleh umkm-umkm lokal di media internet milik desa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun