Mohon tunggu...
Steven Sitongan
Steven Sitongan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Senang membaca dan memiliki impian memunculkan usaha dan media yang bermanfaat untuk banyak orang. Saat ini rajin mereview buku di h23bc.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Balada Buku Replika

30 Agustus 2015   18:35 Diperbarui: 30 Agustus 2015   18:35 1394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini linimasa Twitter dikejutkan oleh "pengaduan" Ika Natassa, penulis novel laris kepada Pak Triawan Munaf perihal buku bajakan. Sorenya aksi ini diangkat lagi oleh penulis best seller serial Supernova, mbak Dewi "Dee" Lestari. Buku lengkap Dee yang diterbitkan Bentang Pustaka bisa dimiliki dengan hanya merogoh kocek seratus ribu. Cuitan Dee berisi screenshot penjelasan buku bajakan yang dijual bebas. Buku replika dalih si penjual. Tidak dinyana penjualan buku replika atau buku bajakan sudah semakin populer dewasa ini. Sebelumnya hanya berada di lapak-lapak pinggir jalan. Dengan perkembangan saat ini para penjual sudah merambah ke sosmed. Instagram dengan berjibun pengguna anak muda.

Tweet yang diunggah @deelestari

Para penulis merasa tidak fair karena hak berupa royalti berkurang. Jangan salah, omset penjualan buku tersebut juga menentukan bagi karyawan penerbit hingga penjual retail. Terlebih dengan sengaja membeli buku bajakan, pembeli tidak respek dengan semangat seorang penulis untuk bisa berkarya. Kita tahu sebuah karya, apalagi karya fenomenal (bahkan best seller) bukan sebuah langkah instan untuk menggapainya. Di satu pihak, penulis harus berdarah-darah menjalani proses kreatif hingga akhirnya turut aktif memasarkan karyanya. Royalti yang diterima juga tidak seberapa. Jadi kira-kira apa yang membuat para pembeli buku bajakan rela "menyiksa" penulis pujaannya?

Supernova #1

Pertama, harga dasar buku yang sedemikian mahal. Ambil contoh buku Supernova #1: Kesatria, Putri Dan Bintang Jatuh (republish) dengan harga normal Rp.65.000. Jika membeli di toko buku diskon atau toko daring maksimal didiskon 20%, kita bisa membaca karya yang baru saja difilmkan ini dengan membayar Rp.52.000.

Kedua, bagaimana dengan pembaca buku yang berdomisili di luar Jawa. Di Ambon misalnya, buku mbak Dee akan dipajang di Gramedia atau di Tb. Dian Pertiwi. Masalahnya apakah di kedua toko buku ini, buku KPBJ in stock (tersedia di toko tersebut)?

Ketiga, ketika pembaca yang menginginkan KPBJ tidak menemukan novel seru ini di toko langganan mereka. Para pembaca akan memutar otak untuk mencari buruan tersebut. Di toko buku daring Rp.52.000 akan dikenakan ongkir maksimal Rp.50.000 (tergantung lokasi, goban itu harga layanan termurah JNE ke Ambon). Pilihannya si calon pembaca akan mencari harga terbaik.

Ternyata setelah dipikir-pikir lebih murah membeli di lapak buku "replika". Dengan uang Rp.50.000, bisa dapat dua lembar baju, makan seminggu, beli obat ibu yang jauh lebih diprioritaskan. Sementara di satu sisi, ada hasrat besar untuk mengenal karya penulis kita. Ada rasa penasaran dengan cerita si pengarang idola. Pengen merasa kekinian dengan baca novel-novel populer. Ini harus pula diakui bahwa semangat membaca kita masih ada. Niat pembaca untuk meraih manfaat dari sebuah bacaan begitu besar. Si pembaca beli banyak buku di lapak "replika" biar bisa dapat lebih banyak buku dengan uang yang sama.

Terlepas dari alasan diatas. Membeli buku bajakan, apalagi penulis lokal adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab. CMIIW, Pandji di Indiepreneur bilang kalau penikmat karya bajakan suatu saat bakal beli yang asli, kalau dia sudah cukup taraf hidupnya. Pertanyaannya sekarang, apakah kelak para penikmat karya bajakan penulis kita bakal sadar dan beli buku aslinya saat sudah bekerja? Setidaknya punya income "lumayan".

Saya salut dengan para penulis yang tidak tinggal diam melihat fenomena ini. Pernah Ika Natassa dengan baik hati membalas sebuah komentar di review bukunya. Di kandangbaca.com ajakan untuk tidak membeli buku bajakan disampaikan dengan baik. Coba kita amati berapa banyak penulis lokal yang mengedukasi pembacanya untuk tidak beli buku bajakan?

Saya pribadi memilih untuk berharap dengan adanya kejadian ini, setidaknya pemerintah turun tangan. Revolusi mental salah satunya lewat penyediaan akses buku bukan? Upaya mencerdaskan bangsa tentunya harus dirawat dan salah satu caranya lewat akses perbukuan kepada masyarakat. Pemerintah seyogianya dapat mengupayakan distribusi buku yang merata dan yang terpenting dapat terjangkau semua kalangan. Saya menutup tulisan ini dengan langkah baik salah satu toko buku di kota kami. Berbahagialah kaum mahasiswa yang dapat menyicil buku-buku yang berguna bagi kehidupannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun