Mohon tunggu...
Ahmad afif
Ahmad afif Mohon Tunggu... Dosen - Afif

fleksibel adalah kunci kesuksesan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akankah RUU Madrasah dan Pondok Pesantren Bisa Dilegalkan?

20 Oktober 2016   06:03 Diperbarui: 6 Februari 2024   13:57 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nilai pada sejarah akan awal berkembangnya eksistensi Pondok Pesantren sebagai tempat yang dijadikan media pembelajaran bagi lembaga pendidikan yang memblow uppendidikan islam secara fundamental. Pada saat ini telah terbukti menjadi sebuah pioneer generasi islam yang memiliki militansi didikan di bawah proses kawah candradimuka yang sangat keras. 

Disamping pihak bisa kita kaji bersama dalam perkembanganya, Pesantren telah membuka dirinya akan perubahan zaman yang tidak terbendung sepak terjangnya, kemudian diwujudkan dengan didirikanya Madrasah. Oleh karena itu, menjadi hal yang tidak mustahil untuk menjadikan Madrasah sebagai perwujudan transformasizaman tersebut yang didalamnya memuat dua arah substansi konkrit pada intisari pendidikan islam yaitu, pertama; konektivitas dari adanya lembaga formal. 

Kedua; penetralisir akan nilai ajaran islam dalam pesantren. Mengapa perlu sebuah wahana konektivitas dari lembaga formal? Karena sesungguhnya dengan adanya pendidikan formal yang digagas barat pada 1807 menjadi tonggak awal mula eksistensi lembaga formal mulai dikenal di Indonesia dan bergerilya dalam pencapaianya untuk bersinergi pada sistem pendidikan Nasional. Maka dari itu, hal ini merupakan sebuah nalar transformatif dengan mengedepankan prinsip adaptasi dalam perubahan zaman yaitu modern. 

Mengapa penetralisir ajaran islam dalam pendidikan Pesantren? Karena memang media pendidikan Formal sangat berbeda dalam visinya dalam mengejar unsur yang syarat modernesasi, sedangkan Pesantren sendiri lebih menuju pada arah eksistensirasional keagaman dan pengamalanya, tentunya hal ini menjadi ancaman serius mengingat agama sendiri adalah kebutuhan hiraki bagi keberlangsungan manusia secara fitrah.

Dalam perkembanganya, Madrasah kini menjelma sebagai sebuah institusi Formal yakni Raudlatul Athfal (RA) setara dengan Taman Kanak-Kanak (TK), Madrasah Tsanawiyah (MTs) setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madarasah Aliyah (MA) setara dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dengan berbagai aktivitas yang telah eksis dalam keberlangsunganya menemui banyak masalah bersifat kasuistik terjadi, dimana eksistensi keberlangsungan Madrasah sendiri menjadi dilema, bagaimana tidak dari sebuah ranah kebijakan yang telah termaktub ataupun yang sekedar menjadi rancangan tidak selalu bersahabat, malahan rentan dengan nilai implikasinegatif dalam keeksistensian Madrasah sendiri. 

Contoh yang nyata adalah resorsi dana untuk keberlangsungan madrasah, dari data yang ada pada DIRJEN PENDIS mengatakan tidak kurang dari 70.000 lebih Madrasah yang terdaftar di Kementerian Agama RI, namun hal demikian tidak diimbangi dengan resorsidana secara proporsional. Dimana seharusnya semakin banyaknya lembaga yang ada juga akan semakin banyaknya beban operasional yang dibutuhkan. Yang lebih parah lagi mengenai sarana prasarana Madrasah yang jauh dari kata ideal untuk kapasitas lembaga yang besar kuantitasnya pun belum begitu merasakan sentuhan dana sarana prasarana untuk bisa dikatakan lebih dari kata memadai. Tapi sekali lagi hal ini merupakan salah satu background akan adanya rancangan inisiatif ruang gerak lahirnya peraturan baru, bukan selayaknya sebuah generalisasi potensialbelaka, adapun kucuran dana sendiri merupakan konsekuensi logis dari adanya peraturan yang ada nantinya. 

Bila melihat histori tentang kebijakan dalam ranah Undang-Undang sendiri masih tidak bisa dilupakan akan dianulirnya Pengadilan Agama dari Kementerian Agama kepada Lembaga Mahkamah Agung, selanjutnya beberapa wacana akan perevisian, penganuliran serta pengakuisisian intensitas persoalan agama kepada sebuah subjek kebijakan yang notabene jauh dari kata belum ataupun tidak adanya kebijakan yang memang sesuai dengan kapasitas atas permasalahan terhadap polemik agama sendiri. Disamping itu perundang-undangan juga menjadi dasar kepada faktor yang lebih komprehensif dalam pencapaianya menangani masalah. Terlebih Indonesia merupakan negara yang secara superior mempunyai lembaga dan sistem Yudisial yang komplit.

Setelah melihat banyaknya fenomena tersebut yang semakin lama semakin menjadi serta adanya push yang terus melanda Madrasah secara universal inilah, telah menjadikan titik terang akan perlunya peran dari Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk dapat memberikan peranya terhadap Madrasah berskala Nasional, peraturan bahkan kebijakan di tingkat bawah. Namun sekali lagi para stake holder sendiri haruslah bisa membuat mapingwilayah permasalahan yang menjadi kunci bagi jawaban untuk bisa berpihak kepada Madrasah. Dalam pencapaianya ada beberapa starategi khsusus, diantaranya adalah yudisial review, manuver politik dan support media. 

Mengapa demikian? Karena RUU mencakup masalah prinsip yuridis Formal yang keberlangsunganya juga membutuhkan adanya campur tangan politik dalam recognisi peran Madrasah dan Pesantren. Keduanya bagaikan dua sisi uang koin yang mempunyai perbedaaan secara simbolik akan tetapi sama pada esensinya. Demikian juga peran media tidak bisa kita anak tirikan mengingat media sendiri bisa menjadi bumbu penyedap dalam rangka support RUU ini. Namun yang paling penting adalah RUU Madrasah dan Pesantren ini memiliki esensi dalam menginisiasi keberlangsungan Madrasah dan Pesantren menuju kualitas serta berdaya saing tinggi. wallohu a’lam (stevenahmad).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun