Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dangdut, Karl Marx, dan Kekristenan

31 Juli 2018   23:23 Diperbarui: 1 September 2018   01:21 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa kaitan antara dangdut, Karl Marx, dan Kekristenan? Rasanya kok terlalu mengada-ada ya. Bagaimnapaun, nama Karl Marx, itulah yang muncul dalam benak saya ketika menyaksikan pentas musik dangdut di televisi. Supaya tidak salah paham, bukan goyang ngebor atau patah-patah dari artisnya yang ingin kita bicarakan di sini, tetapi goyang lepas dari sebagian penontonnya itulah yang menarik untuk dipikirkan.

Mengapa dipikirkan? Terus terang saya jarang melihat jenis musik lain di Indonesia yang bisa membuat sebagian penontonnya melepas baju, menari, dan berjoget di atas pundak orang lain selama pentas musik berlangsung. Wow…wajah mereka tampak tanpa beban, dan goyangan mereka selaras mengikuti irama. Betapa dahsyatnya kenikmatan psikologis yang dialami sebagian penikmat dangdut, apalagi jika artisnya manis dan genit.

Jadi apa kaitan antara dangdut, Karl Marx, dengan Kekristenan? Mudah saja! Tanpa bermaksud menilai bagus tidaknya musik dangdut (karena saya bukan pakar musik), saya melihat jelas bahwa musik dangdut “berjasa” dalam menjadi semacam “opium/candu” yang membius sebagian penontonnya sehingga mereka bisa melepaskan beban kehidupan mereka untuk sementara waktu. Dalam aksi joget ria, lepas…bebas, masalah gaji yang rendah, kemarin dimaki-maki atasan, atau besok makan apa atau siapa… semuanya bisa ditinggalkan di rumah dulu. Yang penting joget dulu! Orgasme psikologis kan tidak dilarang! Kira-kira itulah penafsiran saya terhadap ekspresi sebagian penonton pentas dangdut. Tentu saja tidak semua penonton benar-benar lepas seperti itu, tetapi sebagian dari mereka jelas sekali menghayati dangdut sebagai musik “pelepasan beban psikologis”. Pengalaman pribadi penulis yang tinggal dekat dengan orang-orang yang hobi dangdutan, mengonfirmasi pendapat ini.

Nah, sampai di sini kaitan dangdut dengan Karl Marx, mungkin sudah mulai terbaca. Karl Marx (1818-1883) memiliki teori tentang agama sebagai opium bagi masyarakat. Bagi pemikir ateis yang amat berpengaruh ini, agama bersifat membius karena menimbulkan fantasi yang tidak nyata! Melalui agama, kepedihan dan penderitaan yang dialami masyarakat yang miskin (kaum buruh) dapat diringankan dengan fantasi tentang surga, sebuah tempat di mana tidak ada lagi penderitaan dan penindasan. Agama bersifat membius kesadaran orang khususnya si miskin, agar tidak iri kepada orang kaya, agar puas dengan pendapatannya yang minim, karena ada harta di sorga, kelak! Ya, agama membius mirip seperti dangdut membius. Kedua-duanya bisa membuat orang lupa daratan dan realitas. Bedanya, agama membius masyarakat dengan fantasi surga, tetapi dangdut membius sebagian penonton dengan goyangan seksi dan mungkin fantasi pornografi!

Konsep Marxisme tentang agama ini tentu saja salah dan tidak terbukti dalam beberapa aspek yang paling mendasar. Sebagai orang Kristen menolak tuduhan Marx bahwa Allah adalah hasil imajinasi manusia. Kita juga menolak keyakinan bahwa surga adalah fantasi yang diciptakan manusia untuk meringankan beban wong cilik agar tidak melakukan pemberontakan terhadap golongan berduit. Kita harus maklum karena sebenarnya Marx memang bukan ahli agama, sehingga tampaknya ia tidak tahu bahwa tidak semua agama mengajarkan fantasi surga. Bagi sebagian agama Yunani/Romawi kuno, hanya kaum penguasa dan ksatria yang memiliki keabadian jiwa; rakyat biasa hanya menjadi bayang-bayang (hantu). Marx juga salah ketika percaya bahwa agama akan lenyap ketika jurang antara si kaya dan si miskin bisa diatasi. Kita meragukan Marx yang percaya bahwa jika semua orang sudah makmur, maka masyarakat tidak memerlukan Allah dan agama. Ateisme dari Marx harus kita tolak secara tegas! Alkitab berkata “…Orang bebal berkata dalam hatinya: "Tidak ada Allah." Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik” (Mzm. 14:1). Marx termasuk orang bebal, bukan sekadar bodoh secara intelektual.

Bagaimanapun, kontribusi positif Marx bagi umat beragama jelas! Marx menjadi lampu kuning bagi kita agar tidak menjadikan agama sekedar obat bius! Bagi kita, Marx menolong kita berefleksi “Apakah Kekristenan adalah candu yang membiuskan?”

Pengamatan menyedihkan yang saya temukan kadang-kadang mendukung pandangan Marx secara parsial. Sebagian orang Kristen memang punya mentalitas yang menjadikan agama sebagai candu yang membius. Sering kali dalam ibadah-ibadah yang diharapkan adalah khotbah yang menghibur, menguatkan, menyegarkan, dan tentu lebih asyik lagi jika ada gelak tawa. Agak jarang, doa sebelum firman Tuhan diberitakan memohon kotbah yang menegur, membentuk karakter, dan menyatakan kebenaran. Pergi kebaktian juga sering kali menjadi sarana pelepasan bagi kepenatan jiwa. Sumpek…yuk kebaktian aja! Kebaktian kadangkala jadi mirip pentas dangdut yang membius sebagian penonton dan candu yang meringankan beban hidup persis seperti pemikiran Marx! Lihat saja lagu-lagu yang laris dinyanyikan. Nuansanya terus menghibur kita dengan menggunakan konsep-konsep kepedulian dan kebaikan Allah. Ujung-ujungnya selalu kita yang untung dalam relasi dengan Allah. Kan…Allah peduli, rancangannya indah buat kita! Makin lama makin jarang, lagu-lagu yang agung, yang memuji kebesaran, keagungan, dan kekuasaan-Nya tanpa harus dikaitkan-kaitkan dengan keuntungannya bagi kita. Buku yang laris juga yang bicara tentang hal-hal serupa! Yah, di dunia kan susah, jadi paling enak bicara tentang sorga, membuat kita jadi lega.

Jika orang Kristen larut dalam pola-pola seperti ini, tidak mengherankan jika Kekristenan menjadi mandul, orang Kristen menjadi cengeng dan kebaktian menjadi tempat dugem spiritual. Daripada melampiaskan kelelahan hidup di tempat-tempat yang nggak genah, lebih baik kebaktian aja!

Akhir kata, semoga kita bukan bagian dari orang yang bisa dikritik Karl Marx, yaitu mereka yang menjadikan agama sebagai candu yang membius! Mari kita buktikan bahwa Kekristenan adalah bahan bakar yang menghidupkan karya di dunia, memengaruhi masyarakat sekitar (bdk. konsep Weber), sambil tetap menanti surga yang memang riil! Semua ini mustahil terwujud tanpa pengorbanan Kristus di atas kayu salib.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun