Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orang Farisi dan Pemungut Cukai

3 Mei 2018   19:56 Diperbarui: 16 Juli 2018   18:50 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keterkaitan antara bagian ini (18:9-14) dengan perumpamaan sebelumnya (18:1-8) terletak pada beberapa poin. Keduanya sama-sama menyinggung tentang doa. Selain itu, dua tokoh yang mendapat pembelaan ilahi dalam kisah ini sama-sama berasal dari kelompok marjinal dalam budaya Yahudi, yaitu janda dan pemungut cukai.

Selain kesamaan, perumpamaan di 18:9-14 juga menyediakan penjelasan terhadap bagian sebelumnya. Mengapa janda di ayat 1-8 dibenarkan oleh Allah? Iman seperti apa yang dia miliki di hadapan Allah? Jawabannya ada di ayat 9-14. Iman yang sejati bersandar total pada kemurahhatian Allah. Iman seperti inilah yang dicari oleh Anak Manusia pada waktu Dia datang kembali kelak (18:8b “Jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?”).

Kebalikan dari persandaran yang total kepada Allah adalah kesombongan. Mengandalkan diri sendiri. Menganggap kebaikan diri sebagai alasan untuk memperoleh posisi tawar-menawar (bargaining position) di hadapan Allah. Jadi, pilihan yang ada bukan: bersandar total atau sebagian, melainkan bersandar total pada Allah atau menyombongkan diri sendiri.

Kesombongan religius (ayat 9-12)

Kesombongan bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, dan di area apa saja. Yang paling ironis, kesombongan terjadi pada figur religius yang memegahkan kesalehannya. Bukankah seorang yang rohani seharusnya rendah hati? Bukankah tokoh religius yang seyogianya paling memahami tentang kesalehan yang sejati? Sekali lagi, tidak seorang pun kebal terhadap kesombongan.

Kesombongan religius yang ditunjukkan oleh orang Farisi dalam kisah ini mengambil dua bentuk: mengandalkan kebenaran diri sendiri dan memandang rendah orang lain (ayat 9). Dua hal ini saling berkaitan erat. Sulit memiliki yang satu tanpa memiliki yang lainnya. Pertama, mengandalkan kebenaran diri sendiri (ayat 9a). Terjemahan “menganggap dirinya benar” (ayat 9a, LAI:TB) kurang begitu tegas. Kata dasar “peitho” bisa berarti “meyakinkan” (16:31) atau “mengandalkan” (11:22). Hampir semua versi Inggris mengambil arti yang kedua (KJV/ASV/NASB/RSV/ESV; kontra NIV “confident”). Dari doa yang dipanjatkan oleh orang Farisi terlihat bahwa dia bukan sekadar meyakini kebenarannya sendiri, melainkan memegahkan kebenaran itu di hadapan Allah dan orang lain. Ini bukan sekadar menganggap diri benar (kontra LAI:TB) tetapi menyombongkan kebenaran diri.

Yang ironis, kesombongan ini justru diletakkan pada hal-hal yang religius dan terjadi dalam konteks aktivitas religius pula. Berdoa di bait Allah biasanya dilakukan secara personal (waktu sangat fleksibel) atau komunal (pukul 9 pagi atau 3 sore, lihat Kis. 2:15; 3:1). Kita tidak dapat memastikan apakah kisah di 18:9-14 terjadi pada saat doa pribadi atau komunal. Walaupun demikian, inti yang disampaikan tetap sama: kesombongan religius bisa terjadi dalam konteks aktivitas religius.

Bukan hanya itu. Bagian awal dari doa Si Farisi sangat mengecoh. Dia memulai dengan ucapan syukur kepada Allah, tetapi selebihnya adalah tentang dirinya sendiri. Kata “aku” muncul tidak kurang dari lima kali dalam isi doanya. Hal ini sangat ganjil. Bukankah ucapan syukur seharusnya berbicara tentang apa yang Allah lakukan bagi kita?

Walaupun ganjil, kesalahan seperti ini cukup lazim. Doa telah dijadikan ajang pamer diri. Ucapan syukur kepada Allah dimanipulasi untuk menunjukkan kelebihan diri sendiri. Bukankah hal yang sama mudah kita temukan pada unggahan-unggahan di media sosial orang-orang Kristen? Prestasi anak atau diri sendiri ditonjolkan tetapi disamarkan dengan ucapan syukur kepada Allah. Pencapaian diletakkan di tempat teratas dan diperindah dengan ungkapan-ungkapan yang sekilas terdengar sangat rohani. Walaupun kritikan ini mungkin tidak boleh disematkan pada semua orang yang mengunggah hal-hal seperti itu, tetapi kita sulit menyangkali bahwa kesombongan berbalut jargon religius memang sudah semakin membudaya di tengah-tengah kita.

Sebagian dari kita mungkin dengan cepat mendeteksi kesalahan dalam doa orang Farisi ini. Kita tidak habis pikir mengapa dia melakukan kebodohan seperti itu. Bagaimanapun, jika kita berada dalam posisi dia, kita mungkin akan bertindak lebih konyol lagi. Menurut ukuran kultural-religius pada waktu itu di Israel, orang Farisi tersebut memang memiliki banyak alasan untuk sombong (paling tidak dari kacamata dia dan opini populer waktu itu).

Di satu sisi dia tidak melakukan kesalahan atau kejahatan seperti orang-orang yang lain (ayat 11). Dia tidak melanggar perintah dalam Alkitab. Di sisi lain dia melakukan hal yang melebihi standar spiritual yang umum (ayat 12). Hukum Taurat hanya memerintahkan puasa wajib sebanyak sekali dalam setahun, yaitu pada saat Hari Raya Pendamaian (Im. 16:29-31; Bil. 29:7). Ada beberapa puasa tambahan yang dicatat dalam Alkitab, tetapi hal itu hanya dilakukan dalam situasi-situasi khusus saja (2Sam. 12:21-22; 1Raj. 21:27; Neh. 1:4; Zak. 8:19). Berpuasa secara rutin dua kali dalam seminggu jelas bukan pencapaian yang biasa. Dibutuhkan kemauan dan kedisiplinan yang besar. Jika puasa yang dilakukan memang melebihi standar sehingga dijadikan dasar untuk bermegah, kita juga sebaiknya melihat pemberian persepuluhan yang dia lakukan dengan cara yang sama. Maksudnya, orang Farisi ini memberikan persepuluhan yang melebihi standar juga (bdk. Im. 27:30-32; Bil. 18:21-24; Ul. 14:22-27). Jika demikian, frasa “sepersepuluh dari segala penghasilanku” seharusnya dimengerti bukan hanya sebagai rujukan pada penghasilan tetapi juga apa yang dimakan oleh orang Farisi itu. Dia memberikan apa yang sebenarnya tidak dituntut dalam Hukum Taurat (11:42; Mat. 23:23).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun