Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Spiritualitas Reformed

5 Maret 2018   20:50 Diperbarui: 23 Agustus 2018   21:45 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul artikel ini mungkin sudah membuat kita mengasumsikan beberapa hal. Di kalangan orang-orang awam, teologi Reformed identik dengan lima semboyan yang sangat terkenal: (1) Sola Scriptura (2) Sola Gratia (3) Sola Fide (4) Solus Christus (5) Soli Deo Gloria. Teologi Reformed dikenal karena fokusnya pada Alkitab. Studi Alkitab yang mendalam dan mendetail menjadi ciri khas dan fokus pemberitaan John Calvin. Bahkan karya agung Calvin yang berjudul The Institutes of Christian Religion ditulis sebagai panduan untuk mengerti kitab suci.

Ciri khas ini sayangnya menjadi kabur di kalangan gereja-gereja Reformed di Indonesia. Khotbah yang filosofis dan doktrinal menjadi primadona. Tidak jarang, teks Alkitab hanya dibacakan di awal khotbah dan selanjutnya tidak diuraikan secara memadai. Sebagian orang bangga bisa mengutip perkataan dari tokoh-tokoh Reformed dunia, tetapi orang yang sama ternyata kurang menguasai kitab suci. Yang paling parah, ukuran kebenaran seringkali adalah tokoh tertentu, seolah-olah ada manusia super yang tidak mungkin keliru. Pandangan orang diterima tanpa ditelaah secara kritis bagaimana ketepatan argumen yang digunakan.

Dominasi kalangan intelektual dalam jemaat Reformed di Indonesia membuat penekanan teologi ini menjadi kental dengan nuansa doktrinal saja. Hal ini tidak berarti spiritualitas dan kerohanian tidak pernah disinggung sama sekali. Namun dari sekian banyak aspek yang ada dalam teologi Reformed, aspek yang paling dominan ditekankan adalah aspek intelektual. Karena itu dengan bersandar pada anugerah Tuhan yang sempurna, kali ini saya memberanikan diri membahas suatu topik yang mungkin di dalam konteks Reformed Indonesia sangat jarang dibicarakan: spiritualitas Reformed.

Membicarakan tentang spiritualitas Reformed merupakan tugas yang sangat tidak mudah. Kekayaan spiritualitas Reformed dapat diumpamakan seperti sebuah gelas bersisi banyak yang disinari beragam warna. Spiritualitas tidak hanya dibatasi pada ibadah, doa, mukjizat, atau moralitas belaka. Spiritualitas mencakup setiap detail kehidupan. Spiritualitas bukan hanya masalah praktis (doa, puasa, hidup baik), tetapi juga teologis (dasar spiritualitas yang teosentris).

Signifikansi: klarifikasi kekeliruan kerohanian

Kerancuan konsep seputar spiritualitas di dalam kalangan orang-orang Kristen membuat topik ini menjadi sangat relevan. Hal ini dapat ditinjau dari sejak peristiwa Reformasi gereja 500 tahun yang lalu. Apabila kita hidup sezaman atau sebelum zaman para reformator (Luther, Calvin, Zwingli, Knox), mungkin jawaban kita terkait spiritualitas akan berbeda dengan jawaban kita hari ini. Sakramen, liturgi, dan hal-hal yang sifatnya ritual adalah konsep spiritualitas yang berkembang pada waktu itu. Spiritual identik dengan ritual. Apabila kita ingin mengasah spiritualitas kita dalam pengertian pada zaman reformasi, maka kita tidak mungkin memisahkan diri dari hal-hal yang bersifat ritual, bukan doktrinal atau intelektual.

Penelusuran historis yang cermat ternyata memberikan penjelasan yang cukup memadai untuk memahami spiritualitas pada zaman reformasi. Berbeda dengan Alexander Agung yang memaksa penduduk di wilayah kekuasaannya untuk berbahasa dan berbudaya Yunani, pada waktu Kekaisaran Romawi berubah menjadi Kekaisaran Kristen sejak zaman Kaisar Kontantinus di awal abad ke-4, mereka tidak memiliki kebijakan semacam itu. Sehingga ketika mereka menguasai berbagai macam tempat yang mengakibatkan kekristenan merangsek ke banyak daerah, alih-alih memaksa penduduknya berbahasa lain, bahasa dan budaya setempat tetap dipertahankan.

Dimulai oleh bapa gereja yang bernama Jerome (abad ke-4) dari Kota Betlehem, Alkitab mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Dengan kata lain, kekristenan di masa pra-reformasi gereja adalah kekristenan dengan Alkitab dalam bahasa Latin (Vulgata). Ini adalah satu-satunya Alkitab yang beredar dengan otoritas hukum dari gereja. Orang-orang Kristen tidak bisa dan tidak diperbolehkan membaca dan menafsirkan Alkitab sendiri. Sedangkan banyak dari antara mereka yang tidak bisa berbahasa Latin. Sehingga bisa dibayangkan ada banyak sekali orang Kristen - pada waktu itu kekristenan menjadi agama resmi negara - yang pergi ke gereja tanpa mengetahui apa yang sedang mereka baca.

Kendati demikian, kita tidak bisa menafikan bahwa ada orang-orang Kristen tertentu yang bisa membaca Alkitab edisi Vulgata. Persoalan tidak tuntas sampai di sini. Bisa membaca belum tentu diperbolehkan membaca. Para pemimpin gereja membuat aturan bahwa yang berhak untuk menafsirkan Alkitab hanyalah gereja. Kekeliruan dianggap mustahil jika penafsiran dilakukan oleh gereja. Individu Kristen tidak boleh menafsirkan Alkitab secara independen. Semua harus mengikuti gereja. Gereja adalah jawaban dari semua pertanyaan. Apapun pertanyaannya, sumber dari kebenaran hanyalah jawaban dari gereja.

Pendeknya, spiritualitas pra-reformasi adalah segala hal yang berbau ritual. Di luar itu, hampir tidak ada pembicaraan yang bermakna tentang spiritualitas. Karena itu ucapan syukur harus dinaikkan setinggi-tingginya kepada Tuhan jika kita bisa mulai memahami persoalan ini di dalam konteks dan situasi yang baru.

Konsep modern tentang spiritualitas atau kerohanian biasanya berkutat pada karakteristik berikut ini: (1) dekat dengan Tuhan (2) sering berdoa (3) membaca Alkitab setiap hari (4) banyak pelayanan (5) ramah. Tentunya lima hal tersebut tidak mewakili pendapat seluruh orang Kristen tentang spiritualitas. Namun, pembahasan terhadap ciri-ciri kerohanian seseorang mutlak ditempatkan di awal bersamaan dengan pembahasan teks Alkitab yang akan mendasari artikel ini (Matius 6:1-18 dan Kolose 2:20-23) supaya kita bisa memikirkan ulang karakteristik kerohanian yang kita asumsikan dengan apa yang dikatakan teks-teks tersebut mengenai kerohanian yang sejati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun