Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebohongan yang Dipercayai Para Istri

11 Februari 2018   17:20 Diperbarui: 26 Juli 2018   13:18 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan suatu kebetulan bahwa Iblis melancarkan serangan kepada wanita yang bersuami sebagai sasarannya. Ia berdusta kepada wanita itu (Hawa) mengenai Allah, mengenai karakter dan Firman-Nya, juga mengenai dosa dan akibat-akibatnya. Wanita itu percaya dan mempraktikkan dusta itu, lalu berpaling kepada suaminya dan menyeretnya ke dalam dosa bersama dirinya. Dampak terhadap perkawinan mereka sangatlah serius. Berikut ini adalah analisis saya terhadap kebohongan-kebohongan yang dipercayai wanita, terutama dalam sebuah pernikahan.

“Saya harus memiliki suami agar hidup bahagia”. Kebenarannya adalah bahwa perkawinan itu baik dan benar, bahwa hal itu adalah rencana Allah bagi sebagian besar manusia. Seharusnya ada sukacita dan berkat yang besar di dalam perkawinan yang berpusat kepada Allah dan Injil Yesus Kristus. Iblis memutarbalikkan kebenaran mengenai perkawinan seperti dalam kasus berikut ini, “Saya selalu berpikir bahwa saya membutuhkan seorang pria untuk membuat saya bahagia dan membangun harga diri saya. Namun setelah saya menikah pun, saya masih tidak bahagia dan terus merasa rendah diri. Mengetahui dan percaya bahwa Allah menciptakan saya menurut gambar-Nya dan juga memperoleh harga diri saya dari-Nya telah mengubah pandangan saya dan memerdekakan saya sehingga saya tidak lagi mencoba memenuhi kebutuhan saya melalui cinta dan penerimaan seorang pria.” Kebahagiaan tidak ditemukan dalam (atau di luar) perkawinan; bukan juga dalam relasi antar manusia. Sukacita yang sejati hanya dapat ditemukan melalui Kristus.

“Saya bertanggung jawab untuk mengubah pasangan saya”. Banyak istri Kristen tidak menyadari bahwa mereka memiliki dua “senjata” ampuh yang lebih efektif daripada mengomel, merengek, dan berkhotbah. Senjata pertama adalah hidup saleh, yang sering kali Allah pakai dalam kehidupan seorang pria untuk menciptakan keyakinan dan kerinduan spiritual (1Pet 3:1-4). Senjata kedua adalah doa. Apabila seorang istri terus mengomel tentang hal-hal yang diharapkannya akan diubah oleh suaminya, agaknya ia membuat suaminya semakin defensif dan kebal. Namun apabila ia membawa kekhawatirannya kepada Tuhan, ia memiliki kuasa yang lebih besar dalam kehidupan suaminya – dan lebih sulit bagi pria untuk melawan Allah daripada melawan istri yang cerewet.

“Suami saya seharusnya melayani saya”. Kebenarannya adalah Allah tidak menciptakan pria untuk menjadi “penolong” bagi wanita. Ia menciptakan wanita untuk menjadi “penolong“ pria. Tentu saja, bukan berarti pria tidak wajib melayani istri dan anak-anak mereka. Jika kaum pria seharusnya mengasihi istri-istri mereka seperti Kristus mengasihi gereja, maka seharusnya ada kerelaan melayani sama seperti yang dilakukan Kristus bagi mempelainya. Wanita yang memfokuskan diri pada “yang sepatutnya” diperoleh, akan “hak-hak” mereka, dan pada apa yang “seharusnya” dilakukan kaum pria bagi mereka, pasti menjadi rentan terhadap rasa sakit dan kebencian apabila harapan-harapannya tidak terpenuhi.

“Jika saya tunduk pada suami saya, maka saya akan menderita”. Dusta-dusta berikut ini adalah mengenai penundukan diri. Kedudukan seorang istri dianggap lebih rendah daripada suaminya. Sebagai pemimpin atas istrinya, seorang suami diperbolehkan bersikap keras atau diktator kepada istrinya. Seorang istri tidak boleh memberikan masukan atau mengemukakan pendapatnya kepada suaminya. Segala kebenaran adalah kebenaran Allah, namun harus keluar dari mulut para suami.

Apakah kita sungguh percaya bahwa Allah lebih besar dari semua otoritas manusia? Apakah kita percaya bahwa Ia cukup besar untuk mengubah hati si empunya otoritas itu jika perlu? Apakah Ia cukup besar untuk melindungi kita jika kita di bawah otoritas-Nya? Apakah Ia tahu apa yang terbaik bagi kita, dan apakah kita bersedia untuk mempercayai-Nya untuk memenuhi rencana-Nya yang sempurna dan kekal bagi hidup kita? Kebenarannya adalah bahwa tunduknya seorang istri kepada suaminya sebenarnya memberikan tempat kepada Allah untuk bekerja di dalam hati sang suami dan membawanya pada ketaatan. Juga sikap hati yang tunduk menghasilkan keindahan yang paling bercahaya dan kekal dalam diri seorang wanita (1Pet 3:1-2, 3:3-6).

“Segalanya tidak akan beres jika saya mendiamkan kepasifan suami”. Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya… Lalu ia mengambil… dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dia… (Kej. 3:6). Perhatikan apa yang tidak dilakukan si wanita. Ia mengabaikan keberadaan suaminya yang berdiri di sampingnya. Ketika tiba saatnya untuk memilih, ia mengambil keputusan sendiri. Ia tidak berkonsultasi dengan suaminya mengenai masalah itu. Adam pun tidak berbuat apa-apa. Padahal Allah menciptakan pria terlebih dahulu dan memberikan tanggung jawab kepadanya untuk mengarahkan dan memelihara mereka yang ada di bawah tanggung jawabnya. Wanita, yang diciptakan dari pria, seharusnya menjadi penerima, untuk merespons inisiatif suaminya.

”Terkadang perceraian adalah pilihan yang lebih baik daripada terus bertahan dalam perkawinan yang buruk”. Iblis seringkali memengaruhi istri untuk percaya bahwa tidak ada cara yang “benar” untuk menangani situasi yang tampaknya tidak ada harapan lagi. Dusta ini telah melahirkan budaya perkawinan-perkawinan yang hancur. Kenyataannya, perkawinan memang sulit. Mempertahankan perkawinan yang baik bahkan lebih sulit lagi. Sejak Kejadian 3 terjadi, belum pernah ada perkawinan yang mudah atau bebas dari penderitaan.

Berikut ini saya tambahkan beberapa kesalahan istri yang sering terjadi:

  • Menyoal segala sesuatu. Segala sesuatu dianggap penting sehingga di mata suami dan anak-anak tidak ada satupun yang penting.
  • Kurang berhemat dalam berkata-kata. Seharusnya, less is more than more. Efisiensi dalam komunikasi justru akan meningkatkan persuasi.
  • Menuntut suami menjadi ahli telepati. Tidak mau mengungkapkan keinginan dan harapan secara gamblang kepada suami. Berharap suami tahu sendiri.
  • Mengasihi anak-anak lebih daripada suami. Kesatuan terdalam seharusnya antara suami dan isteri (Kej. 2:24), bukan ibu dan anak.
  • Menganggap tugas-tugas keibuan sebagai beban (mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak). Hal-hal ini justru menegaskan keunikan dan kehormatan perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki.
  • Kurang mengoptimalkan kelembutan dalam melembutkan hati pasangan. Kelembutan, kepekaan, dan keanggunan merupakan senjata perempuan yang sering terlupakan dan terabaikan.
  • Kurang mengungkapkan pujian untuk pasangan. Siapa bilang cuma istri yang membutuhkan dan menyukai apresiasi?

Poin berapa yang sesuai dengan Anda? Bagaimana nilai-nilai Injil Yesus Kristus relevan bagi transformasi di area itu?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun