Mohon tunggu...
Stephen Sanjaya Sentosa
Stephen Sanjaya Sentosa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya Yogyakarta

IG: king_stephensanjaya01

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Artefak Budaya di Fase Digital Melalui Proses Elemen Representasi

8 Maret 2021   13:50 Diperbarui: 8 Maret 2021   14:23 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://actconsulting.co/tag/transformasi-budaya/page/29/

Dalam upaya menjembatani masyarakat, teknologi, dan pelestarian, digitalisasi suatu peninggalan arkeologis adalah cara yang dapat diterima untuk menjaga cagar budaya di Kabupaten Semarang. 

Pemanfaatan teknologi digital untuk tujuan pelestarian cagar budaya dengan cara mereplikasi, memvisualisasikan atau mensimulasikan, disebut digitalisasi cagar budaya (Kalay, 2008:6-8). 

Cara lain untuk mendefinisikan konsep pelestarian dalam praktik digitalisasi cagar budaya adalah materi yang dihasilkan komputer dari setiap nilai cagar budaya harus disimpan untuk generasi mendatang. UNESCO mengeluarkan peraturan tentang pelestarian cagar budaya dalam bentuk digital untuk memastikan aksesibilitas publik, mencegah ancaman lenyap sehingga tidak dapat dinikmati oleh generasi penerus, dan kesinambungan digital dalam jangka panjang (UNESCO, 2003). 

Di Indonesia, digitalisasi penting dilakukan untuk mendokumentasikan kekayaan budaya nasional karena proses dokumentasi saat ini masih tidak memadai dan tidak terstruktur dengan baik (Tanaamah dan Wenas, 2014:125-126). Akademisi dan praktisi cagar budaya di Indonesia dapat mulai menggunakan media digital untuk pelestarian, komunikasi, dan penelitian cagar budaya.

Digitalisasi cagar budaya berguna untuk manajemen pengetahuan, pariwisata dan bisnis, peraturan pemerintah, serta pendidikan. Teknologi digital juga akan bermanfaat bagi pelestarian cagar budaya jika hal itu dapat menarik lebih banyak keterlibatan masyarakat dalam pelestarian cagar budaya. Namun, ada beberapa pertimbangan yang perlu dipertimbangkan, yaitu mengenai konten yang meliputi nilai-nilai dan informasi cagar budaya dalam media digital agar kesadaran masyarakat tergerak melestarikan cagar budaya (Sitokdana, 2015:107-108; Kasper Rodil dan Matthias Rehm, 2015:50). Berdasarkan hal itu, keterlibatan arkeolog dalam konten sangatlah penting untuk menghasilkan informasi yang mendidik dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis kepada masyarakat.

Problematika yang ada di Semarang pada masa kini adalah cagar budaya masa klasik belum ditransformasikan dalam bentuk informasi digital. Padahal, peninggalan cagar budaya dari masa Hindu-Buddha di Kabupaten Semarang tidaklah sedikit. Peninggalan cagar budaya berbentuk candi di Semarang berjumlah sekitar dua puluh candi. Dari jumlah tersebut diketahui sebanyak empat candi sudah tidak berbekas pada masa kini, tujuh candi menyisakan batuan lepas, dan sebanyak sembilan candi lainnya masih berada in situ. Berdasarkan klasifikasi terhadap sembilan candi, dapat digolongkan: dua candi hanya menyisakan bagian dasar atau batur (Candi Dukuh dan Candi Gedong Songo VII), satu candi menyisakan bagian dasar dan kaki (Candi Gedong Songo V), satu candi menyisakan bagian dasar sampai tubuh (Candi Ngempon), dan lima candi dapat direkonstruksi sampai bagian atap seperti Gedong Songo I, II, III, IV, dan VI (Degroot, 2009:42-45). Keberadaan candi yang masih ada di Kabupaten Semarang hingga masa sekarang membuktikan bahwa wilayah tersebut memiliki peranan penting pada masa lalu, terutama masa Hindu-Buddha pada abad VIII-X Masehi.

Banyaknya peninggalan cagar budaya di Kabupaten Semarang yang tidak hanya dalam bentuk fitur, tetapi juga artefak, yang perlu menjadi perhatian tersendiri. Pada masa sekarang, jamak dikenal adanya revolusi industri 4.0 yang menekankan pola digital economy, artificial intelligence, big data, dan lain sebagainya, yang biasa disebut sebagai fenomena disruptive innovation. Revolusi industri 4.0 ini tidak dapat dimungkiri telah menjamah berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat, tidak terkecuali dunia pendidikan yang terkait dengan cagar budaya. Digitalisasi cagar budaya dalam fenomena revolusi industri 4.0 termasuk dalam ranah big data yang memberikan informasi kepada khalayak luas dengan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Meskipun demikian, pada masa mendatang, tidak dapat dimungkiri bahwa hal itu akan menjamah ranah artificial intelligence pula. Digitalisasi cagar budaya setidaknya melibatkan aspek information technology (IT), operational technology (OT), internet of things (IoT), dan big data analitic untuk mengintegrasikan objek fisik, manusia, dan dunia digital (Imaduddin, 2018:1-2). Hal tersebut bertujuan untuk membuat cagar budaya masa klasik yang bersifat statis menjadi informatif-edukatif melalui situs web yang diharapkan dapat mendorong kesadaran masyarakat mengenai keberadaan cagar budaya.

Berdasarkan adanya salah satu artefak budaya di fase digital seperti yang sudah saya jelaskan di atas, maka elemen Circuit of Culture yang saya gunakan adalah representasi. Saya menggunakan elemen tersebut karena konsep representasi telah menempati tempat baru dan penting dalam studi budaya. Representasi menghubungkan makna dan bahasa dengan budaya. Salah satu istilah yang digunakan adalah "Representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang bermakna atau untuk mewakili sesuatu kepada orang lain." Representasi adalah bagian penting dari proses di mana makna diproduksi dan dipertukarkan antara anggota suatu budaya. Hal ini memang melibatkan penggunaan bahasa, tanda dan gambar yang mewakili sesuatu. Dalam konteks ini representasi yang digunakan adalah dengan mereplikasi, memvisualisasikan atau mensimulasikan sebuah artefak budaya. Alasan saya menggunakan elemen ini juga didukung melalui penjelasan The Shorter Oxford English Dictionary yang menjelaskan bahwa representasi artinya mewakili sesuatu berarti mendeskripsikan atau menggambarkannya lalu terjadi proses ke dalam pikiran kita melalui deskripsi atau penggambaran atau imajinasi untuk menempatkan hal yang serupa di hadapan kita dalam pikiran kita atau dalam indra kita. Lalu arti yang kedua adalah representasi artinya mewakili juga berarti melambangkan dengan menjadi spesimen atau menggantikan dalam bentuk kalimat. Wujud nyata mengenai dua pengertian tersebut telah diwujudkan dengan membuat cagar budaya masa klasik yang bersifat statis menjadi informatif-edukatif melalui situs web yang digunakan sebagai alat representasi dengan harapan dapat mendorong kesadaran masyarakat mengenai keberadaan cagar budaya. Makna lain yang ingin disampaikan melaui representasi melaui web adalah teknologi digital juga akan bermanfaat bagi pelestarian cagar budaya jika hal itu dapat menarik lebih banyak keterlibatan masyarakat dalam pelestarian cagar budaya.

Teori yang saya gunakan dalam representasi untuk melakukan analisis adalah pendekatan konstruktivis atau konstruksionis. Pendekatan ini mempercayai bahwa berbagai hal bahkan pengguna bahasa dapat memperbaiki makna. Menurut pendekatan ini, kita tidak boleh mengacaukan dunia material tempat benda dan orang berada serta praktik dan proses simbolik yang melalui representasi makna dan bahasa beroperasi. Namun, bukan dunia material yang menyampaikan makna tetapi sistem bahasa atau sistem yang kita gunakan untuk merepresentasikan konsep kita. Aktor sosiallah yang menggunakan sistem konseptual budaya mereka dan linguistik serta sistem representasi lainnya untuk membangun makna, membuat bermakna dan mengkomunikasikan makna kepada orang lain. Aktor sosial yang muncul melalui penjelasan diatas adalah UNESCO yang mengeluarkan peraturan tentang pelestarian cagar budaya dalam bentuk digital untuk memastikan aksesibilitas publik, mencegah ancaman lenyap sehingga tidak dapat dinikmati oleh generasi penerus, dan kesinambungan digital dalam jangka panjang. Digitalisasi cagar budaya dalam fenomena revolusi industri 4.0 termasuk dalam ranah big data yang memberikan informasi kepada khalayak luas dengan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.

Tentu saja, tanda bisa juga memiliki dimensi material. Sistem representasi terdiri dari suara aktual yang kita buat dengan pita suara kita, gambar yang kita buat dengan kamera, tanda yang kita buat dengan cat di atas kanvas serta impuls digital yang kita transmisikan secara elektronik. Representasi adalah praktik yang menggunakan objek dan efek material. Tapi artinya tergantung bukan pada kualitas material tanda, tetapi pada fungsi simboliknya. Itu karena suara atau kata tertentu mewakili dan melambangkan konsep yang dapat berfungsi dalam bahasa, sebagai tanda dan menyampaikan. Fungsi simbolik yang muncul adalah konten yang meliputi nilai-nilai dan informasi cagar budaya dalam media digital agar kesadaran masyarakat tergerak melestarikan cagar budaya.

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun