Tomas datang ketika matahari sudah malas bekerja. Langit seperti pelukis yang kehilangan kuas; senja pun terkulai di ambang jendela. Pintu rumah pertemuan dibiarkan terbuka, seperti luka yang belum dijahit.
Di dalam, murid-murid bersuara seperti burung gereja yang baru dilepas dari kandang. Wajah-wajah mereka menyala. Ada yang melompat, ada yang tertawa, ada yang tak berhenti menyebut satu nama: Yesus.
"Kami melihat Tuhan!" seru Petrus dengan mata menyala seperti bekas disambar petir. "Ia hidup, Tomas! Ia datang ke tengah-tengah kami! Tak ada yang bisa menyangkal itu."
Tomas berdiri kaku di ambang pintu, seperti patung yang baru diukir separuh. Ia memandang satu per satu mereka, lalu berkata pelan, nyaris seperti gumam: Â
"Lalu di mana Dia sekarang?" Â
Yohanes melangkah maju, lembut tapi pasti. Â
"Tuhan datang ketika engkau tidak ada. Tapi Ia akan datang lagi. Percayalah."
"Percaya?" Tomas menyeringai. "Percaya pada cerita yang bahkan tidak bisa kalian ulangi tanpa suara gemetar? Kalian bicara seolah Yesus itu ilusi yang manis---seperti mimpi yang enak dan tidak ingin dibangunkan."
Petrus menyela, suaranya naik: Â
"Kau meragukan kami, Tomas? Kau pikir kami ini pemabuk rohani yang sedang berhalusinasi?"
"Aku tidak meragukan siapa-siapa," kata Tomas datar. "Tapi aku juga tidak bisa percaya begitu saja. Aku ingin melihat bekas paku itu. Aku ingin mencucukkan jariku ke tangan-Nya. Kalau perlu, aku ingin menaruh tanganku ke lambung-Nya."
Semua terdiam. Seperti ruang baru kehilangan langit-langitnya. Senyap melingkar seperti doa yang kehilangan Tuhan.
*****