Dentang duka pagi itu menggema dari Basilika Santo Petrus, menyapu Roma yang belum sepenuhnya terbangun. Dunia tahu, ini bukan sekadar berita kematian. Paus Fransiskus wafat dalam usia 88 tahun, dan dengan kepergiannya, sebuah suara nurani global pun diam. Ia bukan hanya pemimpin Gereja Katolik yang berpulang, melainkan simbol keberanian untuk tetap lembut dalam dunia yang terus mengeras.
Jorge Mario Bergoglio datang dari ujung selatan dunia. Argentina, kawasan yang selama ini berada di pinggiran radar kepemimpinan Vatikan. Tapi justru dari "pinggiran" itu, lahir seorang Paus yang mengguncang pusat. Fransiskus tidak tampil dengan retorika heroik, melainkan dengan gestur kecil: mencium kaki para narapidana, memilih tinggal di wisma sederhana ketimbang Istana Apostolik, menolak kemewahan lambang-lambang gerejawi. Ia mengawali hari-hari kepausannya dengan sapaan sederhana: 'Buongiorno!'---seolah ingin mengatakan, "Aku ini manusia biasa juga."
Fransiskus tidak mengubah dogma, tetapi menggeser arah moral Gereja. Ia tidak menggugat ajaran, tetapi menantang cara Gereja hadir dalam dunia yang retak. Kepada umatnya, ia menawarkan gaya kepemimpinan yang hangat, inklusif, dan penuh keberanian dalam kelembutan. Dalam dunia yang dikuasai retorika keras dan politik identitas, Paus Fransiskus menawarkan alternatif: kasih sebagai kekuatan moral.
Ia menyapa umat manusia yang tak selalu percaya kepada institusi agama. Ia berbicara kepada yang tertolak, mendekat kepada yang merasa asing dalam keyakinannya sendiri. Ia menyulut harapan di tengah keputusasaan global. Dari pengungsi Rohingya di Asia hingga korban perang di Ukraina dan Gaza, dari gempa bumi di Indonesia hingga kebakaran hutan di Amazon, Fransiskus tidak pernah kehilangan suara simpati yang konkret. Bukan hanya doa, tapi juga kehadiran, pesan, dan tekanan moral yang jelas.
Sebagai pemimpin, ia bukan tanpa cela. Kasus pelecehan seksual di lingkungan gereja masih membayangi kepemimpinannya. Sebagian menilai ia terlalu lambat dan terlalu hati-hati dalam merespons. Di sisi lain, kaum konservatif menganggapnya terlalu "longgar" dalam menginterpretasikan doktrin, sementara kaum progresif menilainya masih terlampau setia pada sistem lama. Tetapi dalam pusaran kritik itu, Fransiskus tetap bergeming. Ia memilih jalan tengah yang berakar pada belas kasih.
Di bawah pemerintahannya, Vatikan tidak lagi berdiri sebagai menara gading. Gereja dibawanya turun ke jalan-jalan, ke tenda pengungsian, ke perkampungan nelayan, ke penjara-penjara. Ia tidak pernah melepaskan jubah putihnya sebagai simbol gembala, tetapi ia juga tidak segan mengangkat telepon langsung untuk menghibur seorang ibu yang anaknya bunuh diri. Ia mendekat tanpa mencampakkan martabat kepausannya. Ia memimpin tidak dengan protokol, tetapi dengan keteladanan.
Dalam dunia yang kian gersang akan makna, Fransiskus menawarkan 'kelambanan spiritual'. Ia percaya pada pentingnya mendengar sebelum menjawab, diam sebelum bertindak. Ketika dunia terobsesi dengan efisiensi, ia berbicara tentang keberanian untuk berhenti sejenak. Ketika para pemimpin global berlomba-lomba membuktikan otoritasnya dengan kebisingan, ia justru mengandalkan kekuatan sunyi: doa, pengampunan, dialog.
Lebih dari sekadar pemimpin agama, Paus Fransiskus adalah gembala kemanusiaan. Ia melihat umat manusia sebagai peziarah menuju kebaikan, bukan sebagai kelompok-kelompok yang harus ditaklukkan secara ideologis. Baginya, perbedaan agama bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk menemukan wajah Allah dalam rupa yang lain. Dalam pandangannya, jalan keselamatan tidak eksklusif, tetapi berliku dan penuh persimpangan yang sah untuk dilalui semua.
Di Indonesia, ia bukan figur asing. Dalam tiap bencana yang melanda negeri ini, dari Palu hingga Cianjur, ia menyampaikan doa yang terasa dekat. Ia tahu bahwa penderitaan tidak mengenal batas geografis atau denominasi. Ia hadir bukan sebagai penonton dari kejauhan, tetapi sebagai suara empati global. Dalam dunia yang makin terkotak-kotak oleh politik identitas, kehadirannya membongkar sekat-sekat itu.
Kepausan Fransiskus adalah kepemimpinan yang dibangun atas kepercayaan, bukan ketakutan. Ia menolak memperalat agama untuk melanggengkan kekuasaan. Ia juga menolak menjadikan Gereja sebagai benteng eksklusifitas. Ia percaya bahwa tugas Gereja adalah merawat luka dunia, bukan menambahnya. Dan untuk itu, ia mengajarkan bahwa kita tak harus menjadi pahlawan, cukup jadi manusia yang setia dalam hal-hal kecil.
Kini, suara itu telah senyap. Dunia berdiri dalam jeda. Tapi warisan Fransiskus tetap hidup, bukan dalam bentuk patung atau gelar kehormatan, melainkan dalam kesaksian kehidupan. Ia telah mengingatkan kita bahwa kekudusan tak terletak pada kesempurnaan, tetapi pada keberanian untuk mencintai tanpa pamrih. Dalam dunia yang keras, ia memilih untuk lembut, dan dalam kelembutan itu, ada kekuatan yang tak bisa dibantah.