Mohon tunggu...
Stephen Sihombing
Stephen Sihombing Mohon Tunggu... Mengabdi bagi kemanusian dengan keteladanan Yesus

Meneladani jalan sunyi Yesus. Melayani tanpa sorot lampu, hadir tanpa ingin dikenal. Dalam keseharian, kasih menjadi sikap hidup, dan pengampunan sebagai bahasa yang paling manusiawi. Keteladanan bukan perkara besar, melainkan kesetiaan pada hal-hal kecil yang dilakukan dengan hati yang tak pernah letih mencintai.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melawan Kutuk Leluhur

20 April 2025   19:23 Diperbarui: 20 April 2025   19:23 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendeta Melawan Kutuk (Sumber: Dokpri)

Sejak aku membuka mata di dunia ini, aku telah hidup di ujung kehampaan. Sebuah rumah kayu tua yang menganga seperti luka di batas desa, dikelilingi pohon pisang yang seolah menyimpan rahasia lebih kelam dari malam. Ibuku, Sumirah, dikenal warga sebagai tukang obat, namun bisik-bisik menyebutnya dukun. Rumah kami menjadi pelataran antara dunia ini dan yang tak kasat mata: tempat penyembuhan, pemanggilan roh, dan pemujaan kuno.
Aroma kemenyan adalah udara yang kuhirup sejak bayi. Rak-rak rumah kami dipenuhi botol kaca berisi cairan kehitaman yang tampak menggeliat di dalamnya. Di malam hari, suara bisikan, tangisan samar, dan tawa nyaring anak-anak yang tak terlihat mengalun seperti lagu tidur iblis. Dinding rumah seperti punya nadi sendiri. Dan aku... aku tumbuh dengan telinga penuh suara dari dunia yang seharusnya tak pernah kusentuh.

Saat usiaku menginjak empat belas, ibuku mulai membawaku dalam ritual-ritualnya. Duduk dalam lingkaran garam dan darah ayam, memegang cermin kecil berbingkai tulang, membaca mantra dari buku tua beraksara Jawa Kuno yang terasa berdetak di tanganku. Ibuku berkata, "Ini bukan ilmu hitam. Ini kekuatan darah. Warisan." Tapi dalam mimpiku, aku melihat wajah-wajah tanpa mata menatap dari balik cermin.

Aku mulai menyaksikan hal-hal yang tak bisa dijelaskan. Bayangan bergerak tanpa pemilik. Suara tangisan dari sumur yang tak berujung. Tubuhku dingin saat langkah tak kasat mata lewat di sampingku. Tapi ketakutan terbesar datang ketika ibuku berkata, "Suatu hari, warisan ini akan sepenuhnya milikmu. Tolak, dan darahmu sendiri akan jadi persembahan."

Di usia dua puluh, saat hatiku sudah penuh sesak oleh ketakutan dan keraguan, aku bertemu Andika, mahasiswa KKN yang penuh semangat dan bakat. Ia tak tahu gelap apa yang aku bawa. Kami tertawa, berbincang, dan untuk sesaat aku merasa seperti manusia biasa. Namun hari itu menjadi akhir segalanya. Andika ditabrak truk dan koma. Warga berbisik, "Ini akibat dia menolak warisan. Roh-roh marah."

Ibuku pun jatuh sakit. Di ranjang kematiannya, dia menggenggam tanganku dan berbisik dengan suara yang tak seperti suara manusia, "Jika kau menolak, dia akan datang. Ibu Tanah Tua akan mengambil... darah." Lalu ia meninggal dengan senyum yang membuat udara membeku. Di bawah ranjangnya, aku menemukan kotak kayu. Kotak yang berisi perjanjian darah, jimat dari tulang bayi, dan potret-potret wajah yang dicoret silang.

Aku tak tahu kenapa... mungkin rasa bersalah, mungkin rasa takut. Tapi aku mulai mempelajari isi kotak itu. Tak lama, aku mendengar suara hati orang lain. Melihat cahaya gelap melingkari tubuh mereka. Lampu meledak saat aku marah. Ayam mati membusuk di kandang hanya karena aku menginginkannya. Aku bukan lagi manusia. Aku... wadah.

Lalu ibuku datang dalam mimpiku dengan wajah pecah, matanya sumur tanpa dasar. Di belakangnya, roh-roh kelaparan merangkak, menangis, menjerit, minta darah. Dia berkata, "Kau telah dibuka. Kau milik kami."

Aku ingin berhenti. Tapi saat aku mencoba, bayi-bayi lahir tanpa suara, sawah dilapisi darah, sumur penuh belatung. Desa menangis. Mereka datang padaku bukan sebagai manusia, tapi sebagai dukun pemimpin bayangan. Aku bukan penyembuh. Aku penambat.

Dalam salah satu buku, kutemukan kebenaran: nenek moyang kami membuat perjanjian darah dengan "Ibu Tanah Tua", makhluk kuno yang tinggal di bawah pohon besar, pemakan janin dan peminum darah. Setiap generasi harus memberi persembahan. Jika tidak... desa menjadi ladang kematian.

Aku mencoba ritual pemutusan ikatan. Namun suara dari tanah berseru. Ayam-ayam melarikan diri dan mati sambil menangis. Tikus menyerbu desa. Jeritan tanpa tubuh menggema dari hutan. Aku hampir gila.

Lalu datang dia. Seorang pendeta tua bernama Ismail. Ia tak diundang. Ia datang karena mimpi tentang seorang gadis yang duduk di tengah lingkaran api dan darah. Ia menatapku bukan dengan ketakutan, tapi kasih. Ia berkata, "Tidak ada kegelapan yang lebih kuat dari terang Kristus. Tidak ada kutukan yang bisa berdiri di hadapan darah Anak Domba."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun