Mohon tunggu...
Stephen Sihombing
Stephen Sihombing Mohon Tunggu... Mengabdi bagi kemanusian dengan keteladanan Yesus

Meneladani jalan sunyi Yesus. Melayani tanpa sorot lampu, hadir tanpa ingin dikenal. Dalam keseharian, kasih menjadi sikap hidup, dan pengampunan sebagai bahasa yang paling manusiawi. Keteladanan bukan perkara besar, melainkan kesetiaan pada hal-hal kecil yang dilakukan dengan hati yang tak pernah letih mencintai.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Maraton dalam Kabut Tanggung Jawab

18 April 2025   23:25 Diperbarui: 18 April 2025   23:39 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Foto/Dokpri)

Di tengah gemuruh geopolitik dunia dan ketegangan ekonomi global akibat tarif tinggi yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Indonesia berdiri di persimpangan krusial. Negara ini tengah mendorong kebijakan hilirisasi sebagai strategi utama pembangunan jangka panjang. Namun di tengah kerja besar ini, justru kita disuguhkan drama kecil bernuansa satire: seorang legislator memilih terbang untuk mengikuti lomba lari maraton ketimbang hadir dalam panggilan partai, dan kemudian disentil oleh ketua umumnya sendiri.

Mukhamad Misbakhun, Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Golkar, tak hadir dalam acara halal bihalal partainya. Tak ada skandal. Tak ada konflik internal. Ia sekadar memilih mengikuti lomba lari. Namun bagi Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, ini bukan sekadar pilihan gaya hidup sehat. "Sekarang Golkar tidak membutuhkan pelari. Golkar membutuhkan pemikir ekonomi," ujar Bahlil, dalam kalimat yang terdengar ringan, tapi menggigit.

Pernyataan itu, seperti petir yang menyambar diam-diam, tak sekadar menyindir ketidakhadiran. Ia menyorot sesuatu yang lebih dalam: pertanyaan besar tentang prioritas, kesetiaan, dan orientasi kerja para wakil rakyat kita. Bahlil tidak sedang berurusan dengan maraton, melainkan dengan metafora pengabaian terhadap tanggung jawab.

Komisi XI yang dipimpin Misbakhun bukan sembarang komisi. Di sinilah denyut ekonomi negara dirancang, anggaran negara dibedah, pajak ditata, dan bank-bank diawasi. Di sinilah, idealnya, pemikiran-pemikiran strategis lahir untuk menjawab tantangan fiskal nasional. Ketika pimpinan lebih  memilih untuk mengikuti lomba lari, maka pesan yang sampai ke publik pun suram: bahwa komitmen politik bisa tersingkir oleh jadwal pribadi.

Misbakhun, dalam klarifikasinya, menyebut bahwa ia telah meminta izin sebelumnya dan menanggapi sindiran Bahlil dengan sikap terbuka. Bahkan, ia mengaku segera kembali ke Jakarta setelah membaca berita tentang sindiran itu dalam penerbangan. Tapi apakah benar persoalannya selesai di sana? Atau justru ini adalah cerminan lebih luas dari lemahnya budaya akuntabilitas dalam partai dan parlemen kita?

Ucapan Bahlil seolah hendak mengembalikan akal sehat kita dalam melihat posisi politik sebagai tanggung jawab, bukan hak istimewa. Ia menyentil bahwa jabatan di Golkar bukanlah warisan yang bisa diwariskan turun-temurun, tanpa pertanggungjawaban. Dalam politik patronase yang begitu lama mengakar, sindiran ini terasa menyegarkan, bahkan membangunkan.

Ketika Presiden Prabowo Subianto menggagas 21 proyek hilirisasi dengan nilai investasi mencapai 50 miliar dolar AS, kita membutuhkan parlemen yang bekerja penuh waktu. Komisi XI harusnya menjadi mitra aktif, bukan hanya dalam pengawasan, tetapi juga dalam menyusun regulasi pendukung dan menavigasi kompleksitas fiskal. Dalam konteks ini, ketidakhadiran Ketua Komisi pada momentum penting menjadi simbol kekosongan kepemimpinan yang tidak bisa disangkal begitu saja oleh narasi pembelaan pribadi.

Tak bisa disangkal, publik semakin cerdas membaca gestur. Ketika seorang wakil rakyat lebih aktif membagikan dokumentasi olahraga atau perjalanan pribadi daripada kehadirannya di ruang-ruang parlemen, atau kegiatan internal partainya, maka timbul tanya: di mana sesungguhnya medan tempur mereka?

Misbakhun boleh menyebut dirinya kembali ke Tanah Air dengan penerbangan paling awal setelah membaca berita. Tapi rakyat tak lagi mudah terkesan oleh gestur dramatis. Yang dibutuhkan publik hari ini adalah kehadiran yang konsisten, kerja yang nyata, dan pemikiran yang relevan. Bukan pembenaran atas absensi dengan alasan yang terkesan santai.

Lebih dari itu, sindiran ini membuka pintu refleksi: berapa banyak legislator kita yang menganggap jabatan sebagai amanah? Berapa banyak yang datang ke rapat komisi dengan bekal riset dan visi, alih-alih hanya duduk manis sambil menggulir layar gawai?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun