Pada Kamis sore, 10 April 2025, pukul 16.25 WIB, sebuah babak sejarah seni Indonesia ditutup dengan senyap. Di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, Titiek Puspa, penyanyi legendaris yang dikenal dengan suara riang dan semangat pantang menyerah, menghembuskan napas terakhir. Penyebabnya: pendarahan otak. Tapi bagi banyak orang, kepergiannya bukan sekadar soal medis. Ada duka yang dalam, tapi juga seberkas terang: ia berpulang di Minggu Sengsara Yesus—masa penghayatan penderitaan Sang Juruselamat.
Bagi umat yang tengah menapaki pekan sakral menjelang Paskah, momentum ini terasa menyentuh lapisan batin yang lebih dalam. Titiek Puspa, atau Sudarwati, adalah representasi kehidupan yang dijalani dengan semangat perjuangan, kelembutan batin, dan kekuatan jiwa. Kepergiannya bukan hanya kehilangan tokoh seni; ia meninggalkan pesan spiritual yang menggugah: bagaimana manusia bisa tetap memberi terang di tengah penderitaan.
𝐒𝐢𝐦𝐟𝐨𝐧𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐚𝐛𝐚𝐥𝐨𝐧𝐠
Lahir di Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan pada 1 November 1937, Titiek merintis karier sejak usia 14 tahun. Bermula dari keberanian mengikuti lomba menyanyi diam-diam karena ditentang orang tua, ia memilih nama samaran: Titiek Puspo; gabungan nama panggilan dan nama ayah, Puspowidjojo. Sejak saat itu, suara khas dan lirik-lirik puitisnya mulai menyapa telinga bangsa.
Tapi bukan hanya lagu cinta yang ia nyanyikan. Titiek mengukir warisan lewat lagu-lagu anak dan karya bernuansa moral. Di balik cerianya, lagu-lagu itu mengajarkan nilai, kesopanan, dan kasih sayang. Ia tidak sekadar melantunkan nada; ia merawat nurani bangsa.
𝐏𝐞𝐫𝐣𝐚𝐥𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐌𝐞𝐥𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐆𝐞𝐥𝐚𝐩
Pada 2009, langit hidupnya sempat redup. Kanker serviks stadium 3 menyerang di usia 73. Titiek tidak memilih menyerah. Ia menjalani pengobatan medis, lalu beralih ke jalur alternatif: meditasi, makanan sehat, dan ketenangan jiwa. Dalam wawancara yang kini jadi arsip kenangan, ia berkata, “Bukan sakit yang mematikan, tapi pikiran negatif.”
Kesembuhannya dianggap mukjizat. Titiek bukan hanya lolos dari maut, ia kembali berkarya. Tapi ujian belum usai. Tahun 2018, gangguan jantung memaksanya dipasang alat pacu. Ia kembali bangkit. Bahkan hingga menjelang akhir hayat, ia tetap aktif menghadiri acara. Tubuhnya mungkin melemah, tapi jiwanya tetap menyala.
Pada akhir Maret 2025, setelah menghadiri program televisi, ia kolaps. Pendarahan otak menyerangnya. Meski sempat dioperasi, tubuh renta itu tak mampu pulih. Hingga akhirnya, pada Minggu Sengsara, ia pergi.
𝐒𝐢𝐦𝐛𝐨𝐥 𝐒𝐩𝐢𝐫𝐢𝐭𝐮𝐚𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐝𝐢 𝐓𝐞𝐧𝐠𝐚𝐡 𝐃𝐮𝐤𝐚