Mohon tunggu...
Stepanus Wilfrid Bo'do
Stepanus Wilfrid Bo'do Mohon Tunggu... profesional -

Pencinta traveling dan kebudayaan yang jatuh hati pada jurnalisme.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kalau Toraja Tae' Ber-"Pilkada"

31 Maret 2010   03:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:05 1585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_170026" align="alignleft" width="200" caption="busana adat kaili"][/caption] Pepatah Melayu, bahasa menunjukkan bangsa boleh jadi telah menginspirasi duo antropolog/linguist berkebangsaan Belanda, N. Adriani dan AC Kruyt selama pengembaraan di tanah Celebes, alias Sulawesi di awal abad 20. Karena bahasa, Adriani maupun Kruyt menamai suku-suku yang berdiam di sepanjang aliran sungai Sa'dan, sungai Mamasa, hingga lembah Palu, Toraja Tae'. Kata tae' sendiri berarti tidak atau no/not dalam bahasa Inggris. Tetapi, entah mengapa suku-suku dari Sulteng, yang berbahasa Da'a, Ledo, Tara, Rai, Doi, Unde , Ado, Edo, Ija, Da'a, Moma, dan Bare'e -kesemua kata dasar bahasa tersebut berarti "tidak"- sekarang ini lebih suka disebut To Kaili. Dari pinggir sungai Mamasa, suku yang hingga kini masih fasih berucap tae' bahkan dalam perngertian 'jangan'- misalnya dalam kalimat: tae' ko kiara' (kau jangan marah)- lebih memilih disebut To Mamasa. Entah mengapa pula, suku di sepanjang sungai Sa'dan pun lebih senang disebut Toraja saja, tanpa tambahan Tae'. Yang tak bisa dibantah, ketiga suku di atas masih juga senang berucap tae', tidak. Bahkan tanpa mereka sadari, terlampau banyak berucap tae'/tidak. Berpangkal dari kesukaan berkata tae', banyak peneliti mengaku kesulitan mengorek informasi dari suku-suku ini. Tim sukses kandidat bupati yang tengah berebut kursi Bupati di sana pun, bakal menemui kesulitan yang sama. Bila dikejar lebih jauh, ucapan Tae'/tidak bisa bertolakbelakangan dengan keterangan berikut-berikutnya. Khusus di wilayah Tator atau Torut, situasi percakapan berikut, sangat biasa: [caption id="attachment_170027" align="alignleft" width="300" caption="busana adat mamasa"][/caption] " Ammi melambi' bang. Den raka parallu?' ( Kenapa pagi-pagi sekali datang, ada keperluan apa?) Begitu biasanya tuan rumah menyapa tamu yang datang pagi-pagi. " Tae' ra, sumalong-malong bang ra'," (Tidak, saya hanya jalan-jalan) Ujar sang tamu. Tahu-tahu, setelah bercerita panjang, di akhir habisnya sajian kopi toraja, barulah sang tamu mengungkap tujuannya. "La mang indan pa' te, den siapa raka doi' mi anna?" ( Saya mau minjam, masih ada kah uang simpanan?) Lalu apa arti kata tae' dalam percakapan khas ini? Kata no atu not/tidak secara umum digunakan untuk mengungkap penolakan, pengingkaran, ketidak percayaan, ketidak setujuan,atau keraguan. Tetapi untuk kata tae' di atas masih ada tambahan: menyembunyikan sesuatu, menunda mengungkap sesuatu. Konteks Komunikasi Dari sisi komunikasi antarbudaya, situasi kebahasaan tae' ini bisa dijelaskan dengan memakai konsep "high context" dan "low context" yang dipopulerkan Edward Hall, sekarang banyak digunakan untuk menjelaskan perbedaan budaya, misalnya Eropa (Barat) dan Asia (Timur). Jika menilik frekuesi kata tae' dalam percakapan/komunikasi, yakinlah kita komunitas Toraja berbudaya high context itu. Kata Hall, high context menunjuk pada masyarakat atau kelompok budaya di mana orang-orang telah lama saling kenal, sehingga mereka saling mengenal pribadi masin-masing. Keluarga adalah contoh lingkungan hight context. Pada situasi ini, seringkali pengambilan keputuasan lamban atau diperlambat, dengan pertimbangan menjaga perasaan pihak lain, dan menjaga harmoni. Dalam banyak hal, persoalan pribadi bercampur baur persoalan kelompok atau pekerjaan. Komunikasi lebih banyak berlangsung informal, dan non-verbal. Low context sendiri mengacu kapada kelompok orang yang cenderung punya banyak hubungan tetapi durasi kurang, hanya berdasar kepentingan. Pada situasi ini, sikap, keyakinan harus diungkapkan secara eksplisit, terang benderang, atau lugas. [caption id="attachment_170031" align="alignright" width="300" caption="busana adat Tana Toraja"][/caption] Pada situasi low context, pengambilan keputusan bisa cepat karena sudah ada aturan-aturan yang jelas. Hubungan singkat, dibatasi waktu, dan tipe hubungan. Dalam pekerjaan, profesionalisme diutamakan, hubungan atasan bawahan terbuka. Nah, meneliti ataupun berkampanye di kalangan komunitas high context seperti di Tana Toraja wajar menemukan tingkat kesulitan sendiri. Orang dengan sendirinya cenderung tidak mengungkap sikap pilihan politiknya secara langsung. Pemilukada

Pada konteks pemilukada di Tana Toraja, situasi high context ini bisa mementahkan hasil-hasil polling atau survey pendapat umum apalagi claim tim sukses. Responden di Toraja cenderung mudah digiring setuju dengan preferensi kuesioner/pewawancara. Kalau tak hati-hati, bisa membuat kesimpulan dan rekomendasi yang salah.

Dalam hal pilihan politik, masyarakat  budaya high context cenderung tidak independen. Dan demi menjaga harmoni, mereka cenderung ikut suara mayoritas. Kalau seseorang ditanya siapa kandidat pilihannya, cenderung akan mengatakan, "ya ade to tu la na pilie tau." (kata orang, dialah yang akan mereka pilih 'dan karenanya mungkin juga pilihan saya nanti'. Tak heran bila pada pemilihan lembang, Bupati, Gubernur, Presiden di Toraja, pemenang cederung menang mutlak. Pada pemilukada di Tana Toraja saat ini di atas kertas pasangan Etos akan dominan di Sangalla', Victori di Mengkende' dan Junus-Yansen di pusat bisnis perkotaan dan pasar-pasar. Pasangan Kosmos-Daniel dari jalur independen tinggal menambah dukungan KTP yang mereka pegang untuk meraih suara maksimal. Namun, situasi high context, daerah Tallu Lembangna (Sangalla', Makale, Mengkendek) agak berbeda dengan Rembon Salu Putti (sungai pisang?), yang agak berterus-terang. Misalnya, dalam kalimat: "kukkali dua' deppa diong" (Saya gali ubi, eh masih ada) -sering diplesetkan menjadi "gali ubi, eh dapatnya kue (deppa)". Dari Rembon Saluputti kali ini muncul dua kandidat, Nico Biringkanae dan Theofilus Allorerung. Adakah salah satunya bakal memenangi dengan berbagi suara di Rembon dan mencuri suara di Tallu Lembangna? Tae' pa anna ditandai. Kita belum tahu. Mari menunggu hasil pemungutan suara akhir Juni 2010 ini.@ Bo'do' Stepanus Wilfrid.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun