Mohon tunggu...
Stefi Rengkuan
Stefi Rengkuan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Misteri kehidupan itu karena kekayaannya yang beragam tak berkesudahan

Lahir di Tataaran, desa di dekat Danau Tondano, Minahasa. Pernah jadi guru bantu di SD, lalu lanjut studi di STFSP, lalu bekerja di "Belakang Tanah" PP Aru, lalu di Palu, dan terakhir di Jakarta dan Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern dan Melek Inti Keagamaan

28 Juli 2020   14:14 Diperbarui: 16 Juli 2022   14:24 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diskusi buku (Minggu 26/07) diselenggarakan Forum Spritualitas ESOTERIKA mengupas dan mengkritik pemikiran ateisme Charles Dawkins patut dihargai di tengah ketidaktahuan dan ketidaksadaran masyarakat akan bahaya ateisme yang secara halus disuburkan sejak semangat zaman yang mengagungkan kebebasan berpikir termasuk pikiran liar sampai tertib yang menolak Tuhan seolah dianggap pencapaian intelektual tertinggi. 

Sementara malah tak kurang filsuf teolog besar seperti Aquinas mengaku bahwa puncak tertinggi pengetahuan adalah kesadaran akan keterbatasan, mengetahui bahwa tidak tahu segala sesuatu. 

Namun bukan berarti kita tidak perlu mengetahui pemikiran filsafat ateistik itu, malah sebenarnya segala sesuatu tentangnya sudah ditimbang dan diukur, dan terbukti kurang bahkan tidak ada apa-apanya.

Materi bahasan ateisme sendiri bukan hal baru, dan buku Dawkins ini sudah lebih sepuluh tahun lalu dan para filsuf penganjur ateisme sudah ada jauh sebelum Dawkins. Entah terkait atau tidak, pada tahun-tahun itu seorang peneliti budaya, Benni Erick Matindas, sudah menerbitkan buku yang berusaha menelanjangi bahkan mematikan konsep pemikiran para filsuf ateis. 

Bahkan ide-ide tulisan itu tampaknya sudah ada dalam proses pembuatan buku best seller-nya, NEGARA SEBENARNYA (2007), yang mencapai 1000 halaman lebih untuk memperlihatkan dan meninggalkan sejumlah salah kaprah dalam kehidupan bernegara.

Teori seleksi alam Darwin dan teori-teori sains pendukung yang dibanggakan Dawkins itu malah cukup dibantah secara singkat di dalam kata pengantar secara singkat saja. Bukan menjadi teori yang perlu dibahas penulis dalam isi buku, karena sudah jelas dibuktikan pelbagai penelitian fisika mutakhir bahwa evolusi alam itu bukan tidak memerlukan Ide awal yang mengarahkan. 

Juga begitu banyak bukti dalam proses alam raya dan kehidupan manusia sehari-hari bahwa Tuhan diperlukan. Teori yang diklaim lebih unggul dari "hipotesis Tuhan" sebenarnya itu tidak meruntuhkan ajaran utama Alkitab tentang keberadaan Tuhan dan HUKUM KASIH, demikian juga tak sampai mengusik wilayah iman Kristiani yang bahkan percaya, kalau Tuhan menghendaki, dunia ini bisa diciptakan dalam sekejap atau 6 jam saja, bukan 6 hari seperti ada tertulis dalam kitab Genesis yang dibantah orang ateis itu. Klaim kebanggaan dan kesadaran menjadi ateis justru menjadi tanda kebodohan dan ketidakbebasan bahkan kesia-siaan belaka.

Dr. Benni memberi judul bukunya setebal 240 halaman itu MERUNTUHKAN BENTENG FILSAFAT ATEISME MODERN (2010), dan pertanyaan bisa langsung dinyatakan apa yang menjadi benteng ateisme di zaman modern ini?Salah satu jawaban sebenarnya sudah tersirat dalam dua alasan yang dikemukakan penulis dalam kata pengantar buku juga saat memberi analisis fenomena banyaknya pemimpin umat itu tak pernah atau jarang berkotbah tentang bahaya pemikiran ateisme itu bagi umat dan dirinya sendiri. Pertama, karena filsafat ateisme itu langsung dianggap oleh pemimpin sebagai konsep yang sulit dan berbelit-belit. 

Kedua, karena sulitnya filsafat ateisme itu bagi pemimpin maka diandaikan bahwa umat pun tak akan terpengaruh oleh pemikiran yang abstrak nun jauh di awang-awang itu. 

Penafsiran ini berangkat dari prinsip dalam strategi pemenangan perang di Tiongkok kuno: pertahanan terbaik adalah dengan menyerang! Bandingkan kata 'kelung' sebagai nama perisai yang biasa dipakai dalam tari Kabasaran di Minahasa, ternyata aslinya adalah sebuah parang besar yang dipakai untuk menyerang dalam kisah perang Sam Kok. 

Maka dua jawaban itu dalam arti tertentu merupakan skor kekuatan benteng ateisme itu. Jadi bukan semata fakta para pentolan dan penganjur ateisme itu gencar dan kuat menyerang kaum teistik, tapi terutama dari pihak beragama khususnya Kristen rupanya tiada serangan berarti yang dilancarkan, malah jangan-jangan tiada keberanian menyerang. Ini bisa pernyataan atau pertanyaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun