Mohon tunggu...
Stefi Rengkuan
Stefi Rengkuan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Misteri kehidupan itu karena kekayaannya yang beragam tak berkesudahan

Lahir di Tataaran, desa di dekat Danau Tondano, Minahasa. Pernah jadi guru bantu di SD, lalu lanjut studi di STFSP, lalu bekerja di "Belakang Tanah" PP Aru, lalu di Palu, dan terakhir di Jakarta dan Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stay at Home, Ibadah di Rumah saja, dan Eklesiologi "Gereja Rumah"

29 Mei 2020   20:16 Diperbarui: 30 Mei 2020   00:58 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Penerbit Cahaya Pineleng

Gereja Rumah, Konstruksi Baru hadapi Pandemi COVID-19 (?)
Tanggapan atas tulisan Sovian Lawendatu, "Gereja Keluarga, Gereja tanpa Institusi Formal"------------------------
Tulisan Bung Sovian Lawendatu dalam laman FB miliknya ditujukan untuk grup diskusi yang khusus dibentuk oleh tokoh Kawanua yang juga adalah Sekjen PIKI, Audy Wuysang, menghadapi sikon pandemi Covid-19 ini [https://m.facebook.com/groups/782641955598951?view=permalink&id=782717638924716] sangat menarik. 

Sovian berangkat dari pengalaman dan refleksi tertentu. Istilah "gereja keluarga" atau "gereja rumah" ini sendiri bukan hal baru. Namun sangat aktual dan ditawarkan sebagai wacana strategis menyikapi zaman pandemi COVID-19 ini, Gereja domestik (Latin: domus = rumah) atau hauskirche (Jerman) atau ecclesiola (Latin) ini mesti diletakkan dalam konteks teologi khususnya eklesiologi di balik itu.

Dalam pengamatan Sovian rupanya ada fenomena elitisme tertentu dalam persekutuan gerejawi yang menjadi pengatur dan penentu jemaat, dan dengan efek-efek negatif turut menyertai dan membuat kegelisahan dan tanda tanya di kalangan Jemaat dan para pemimpin di lapisan "pelaksana" di bawah.

Sovian berusaha menunjukkan dalam sejarah reformasi sampai Calvin (karena menjadi rujukan tradisi teologi mayoritas denominasi Gereja Protestan di Indonesia) bahkan merujuk ke Gereja perdana (sebelum gereja negara ala Konstantin), bahkan Gereja para rasul sebagaimana bisa dilacak dalam kitab Kisah para rasul dan tulisan apostolik Paulus, dan tentu saja Injil synoptik itu sendiri yang mulai ditulis kira-kira sejak rasul dan lingkaran pengikut Yesus terakhir meninggal.

Dalam konteks Gereja Katolik Roma pada abad pertengahan (bisa dilacak sampai masa Kaisar Romawi menjadikannya sebagai agama resmi negara), elitisme itu nampak jelas dalam Hirarki terpusat dalam diri Paus di Roma. Hirarkisme itu adalah kuasa tak terbatas Paus sebagai penentu segalanya bahkan yang mengatasi para pemimpin bangsa di masa serba kerajaan di benua biru itu.

Hirarkisme ini pada akhirnya, atas kehendak sejarah dan Roh Allah sendiri, tiba pada zaman Modern sebagai puncak dari Abad Pertengahan (abad ke 5 - 15), yang kemudian mempersiapkan lahirnya  zaman Aufklaerung, dan saatnya mendapat gugatan dan koreksi serta perlawanan yang melahirkan perpecahan dan pemisahan tertentu sampai kemudian menjadi "stabil" lagi seiring otonomi berpikir dan sekularisme serta otoritas negara menjadi penengah. 

Sikon ini (dan segala masalah internal dan eksternal) telah memaksa gereja Roma terus berbenah sampai puncaknya dalam Konsili Vatikan Kedua (1962-1965), menghasilkan eklesiologi yang memberi tempat pertama kepada umat beriman, walau masih menempatkan Hirarki (Paus, Uskup, Imam) sebagai struktur yang menentukan. Bahkan prinsip "extra ecclesia nulla salus" (di luar gereja tidak ada keselamatan) dengan gugus terdepannya teologi apologetime mulai bergeser ke teologi dialogal dan ekumenis yang ramah. Dan kalau dihitung sejak konsili Trente (1545 - 1563) sebagai respons terhadap Reformasi Luther (1517) itu, pembaharuan-pembaharuan internal Gereja Roma ini butuh sekitar 500 tahun, sampai pada konsili ekumenis Vatikan Kedua dengan eklesiologi yang baru itu. 

Semangat aggiornamento yang bermakna membuka jendela agar udara segar masuk oleh Paus pembaharu (Giovanni XXIII) yg menginisiasi konsili ini memang telah mengubah banyak hal dalam gereja bahkan dunia pada umumnya. Secara internal semangat keterbukaan ini adalah buah dari semangat inti pembaharuan pasca Kontra Reformasi: ecclesia semper reformanda et purificanda (Gereja selalu memperbaharui dirinya dan karena itu memurnikan diri).

Sejak Vatican II itu, paham eklesiologi sudah jauh berubah, yakni gereja bukan lagi disebut lembaga keselamatan (penekanan pada legal formal struktur pimpinan, ajaran, liturgi) tapi Sakramen keselamatan (tanda dan sarana). Persekutuan umat beriman itulah Gereja, bukan hirarki semata.

Sejauh Gereja umat beriman itu menghadirkan dan mewujudkan atau menandakan sang Yesus dalam kesatuan dalam Allah Tritunggal, maka layak dan pantas disebut Gereja. Kristuslah sebagai pemimpin, dan Gereja adalah sakramen Yesus Kristus sendiri. Pusat Gereja bergeser dari (Paus) Roma ke gereja lokal (Uskup) di seluruh dunia, dalam setiap paroki dan stasi, wilayah rohani atau kolom, bahkan sampai ke tingkat paling dasar sosialitas masyarakat manusia, yakni lembaga keluarga dengan teologi perkawinan yang ketat.

Saya jadi ingat tulisan Alm. YB Mangunwijaya dalam buku Gereja Diaspora (1999), salah satu kisah yang menginspirasi dia adalah suasana perang zaman Jepang di mana gereja lumpuh karena semua perkara sakramen termasuk urusan "seng dan semen" rumah tangga gereja diurus oleh hirarki yang mayoritas orang Belanda yang mesti masuk penjara bahkan dibunuh, dan justru dipertahankan bahkan dihidupkan dengan terseok dan perbekalan minim tapi pasti dan efektif oleh para pemimpin awam bersama keluarga inti dan besarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun